Film: Oculus (2013)

Kamis, Juli 24, 2014

"You see what it wants you to see."

Saya bukan penikmat film horor. Film horor terakhir yang saya tonton adalah The Conjuring dan menurut saya sangat biasa-biasa saja. Karena itulah saat saya memutuskan untuk menonton Oculus, saya tidak berekspektasi apa-apa. Jujur saja, alasan saya untuk menonton film ini hanya karena 1) cukup banyak review yang mengatakan bahwa hasil editing film ini sangat cantik, dan 2) Karen Gillan.

Oculus merupakan film horor psikologi yang tidak 'kurang ajar' seperti film horor kebanyakan. Jika film horor lain rata-rata mengutamakan adegan dimana si setan tiba-tiba lompat ke layar, maka berbeda dengan Oculus. Si jahat di film ini cukup 'sopan', tidak mengagetkan, dan berwajah cukup ramah dibandingkan film-film horor lainnya. Agak bingung untuk memulai review tentang film ini dari mana, karena scene dan storyline-nya yang lompat-lompat. So lemme try...


Storyline

Kaylie Russel (Karen Gillan), yang berkerja pada suatu perusahaan pelelangan, menjemput adik laki-lakinya, Tim Russell (Brenton Thwaites) yang baru keluar dari penjara karena membunuh. Kaylie kemudian menagih janji Tim kepadanya sepuluh tahun yang lalu, untuk memusnahkan sebuah cermin. Kaylie telah mempersiapkan rencana yang sangat rapi (dan canggih) untuk memusnahkan cermin tersebut. Satu-satunya yang menghalangi rencana mereka hanyalah sang cermin.

Sepuluh tahun yang lalu, Alan Russell (Rory Cochrane) dan Marie Russell (Katee Sackhoff) baru saja pindah rumah. Little Kaylie (Annaline Basso) dan Tim (Garrett Ryan) sedang sibuk bermain. Pada dialog-dialog awal diungkapkan bagaimana Marie merasa cermin yang dibeli dan diletakkan Alan di ruang kerjanya sedikit anti-mainstream.... and the story goes.


Keanehan mulai terjadi. Dimulai dari Kaylie yang melihat sosok wanita sedang merangkul Alan di ruang kerjanya dan Marie, with all her insecurities, berasumsi bahwa Alan menjalin hubungan dengan wanita lain. Anjing mereka, Mason, pun menjadi korban pertama dari rumah keluarga Russell. Mason dikunci ke dalam ruang kerja Alan dan lenyap... ini merupakan pernyataan yang dipercayai Kaylie. Sedangkan Tim percaya bahwa Mason sakit dan dibawa oleh Alan ke dokter hewan, namun Mason tidak bisa bertahan.

Semua scene yang saya ceritakan di atas terjadi secara bergantian. Pada scene pertama, kita akan bertemu dengan keluarga Russell sepuluh tahun yang lalu. Scene selanjutnya berganti ke masa sekarang. Selanjutnya berganti lagi dengan scene dari sudut pandang Little Kaylie atau Tim. Teknik penceritaan yang 'bertabrakan' inilah yang menjadi senjata dari Oculus. Mike Flanagan melakukan proses sunting film dengan hasil yang sangat memuaskan sehingga penonton dapat melahap dua buah cerita yang memiliki rentang sepuluh tahun di saat yang bersamaan.

Perbedaan pola pikir dan sudut pandang menjadi salah satu sajian yang sangat menarik dari film ini. Cermin tersebut membutakan psikologis setiap calon korbannya. Mulai dari Kaylie yang merasa dia melukai dirinya, Tim yang merasa dia pergi meninggalkan rumah, dan masih banyak lagi asumsi-asumsi yang cermin tersebut berhasil selipkan ke alam bawah sadar, bukan hanya Kaylie dan Tim, tapi termasuk juga saya.

Plus

  • Secara cerita, saya yakin bukan hanya saya yang bisa menebak ending dari film ini. Anehnya, saya masih merasa sedih saat sampai ke akhir film. Sekali lagi, ini film horor psikologi, mungkin emosi saya sudah terpengaruh sepanjang menonton film ini.
  • Karen Gillan is so bad ass. Pertama kali saya menikmati akting Karen Gillan adalah di serial legendaris Inggris, Doctor Who. Peran Karen sebagai Amelia 'Amy' Pond yang digambarkan sebagai gadis biasa (minus the whole time-traveler thingie) membuat saya penasaran bagaimana jika Karen diletakkan sebagai pemeran utama di film horor psikologi. Hasilnya... sangat menarik. Karen memerankan Kaylie dengan cemerlang. Scene saat Kaylie menendang pot bunga without skipping a beat, saat Kaylie menggigit 'apel', bertemu dengan tunangannya di rumahnya, dan masih banyak lagi, Karen sukses menggambarkan bagaimana psikologinya tercabik antara kenyataan dan halusinasi. Oh dan aksen Scottish Karen benar-benar tersembunyi!
  • Brilliant editing! Film ini seolah menyajikan dunia paralel pada rumah keluarga Russell. Suara teriakan little Kaylie seolah menjadi bisikan Kaylie pada Tim. Suara dentuman pintu, penampakan, bahkan suara tembakan dari sepuluh tahun yang lalu bisa menjadi sama dengan masa sekarang.
  • Ide cerita yang out of the box. Oculus tidak menakuti melalui penampakan atau efek-efek pasaran lainnya, tapi melalui permainan psikologi.

Minus

  • Seperti film horor di pasarnya, Mike Flanagan meninggalkan akhir cerita terbuka sehingga penonton hanya bisa berasumsi. It could be a good thing, but for me in this case it is not. Masih ingat kan di atas tadi saya menyebutkan bahwa saya merasa sedih..
  • Alur cerita pada awal film terkesan lamban. Untungnya saya masih bisa terdistraksi dari kebosanan melalui teknik editing yang menarik dan dialog-dialog cepat Kaylie. Pada tengah film, saat cerita semakin menarik, karakter semakin terbangun, dan misteri semakin banyak, tiba-tiba alur kembali melambat. Rasanya sudah tidak begitu menarik lagi.. mungkin karena semua 'senjata' sudah terlanjur keluar di awal cerita. Sayang sekali.. karena saya mulai menyukai film ini.
  • Kaylie Russell hanyalah satu-satunya karakter yang membekas karena akting yang memukau. Lain halnya dengan Tim Russell, yang walaupun memiliki porsi sama besar dengan Kaylie, namun tidak begitu membekas. Saya malah lebih tertarik dengan Marie Russell yang bisa berubah dari an insecure wife into a beast and then a loving parent. Padahal porsi Marie Russell tidak begitu banyak.
  • Ayunan ponytail Kaylie pada bagian awal film membuat saya jadi rindu dengan rambut panjang saya.

*

all pictures from here


You Might Also Like

1 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.