Film: The Lift Boy (2019)

Senin, Mei 18, 2020

You have a lot of potential. You're just lazy.

Raju Tawade terpaksa harus menggantikan ayahnya sebagai petugas lift di sebuah apartemen, sebuah pekerjaan yang menurut Raju sangat membosankan dan memalukan, terutama bagi Raju, seorang calon insinyur.

Sekilas terdengar seperti kisah seorang anak durhaka yang tidak tahu terima kasih dan menganggap dirinya anak paling tidak beruntung di dunia. Tepat sekali. Memang hampir demikian premisnya. Namun meskipun Raju membenci pekerjaannya sebagai petugas lift, ia tetap berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Siapa sangka ternyata terkurung di dalam mesin berbentuk kotak selama hampir 12 jam bisa mengubah hidup Raju...

Kritik sosial atas kesenjangan kelas dan budaya

Film debut dari Jonathan Augustin ini penuh dengan sindiran dan kritik atas kesenjangan yang memang terjadi di India, terutama mengenai kelas masyarakat. Di India, orang tua selalu mengarahkan anaknya untuk menjadi insinyur atau dokter. Raju tidak menyukai dunia teknik, ia juga merasa tidak pintar, sehingga ia tidak ingin menempuh pendidikan kedokteran. Raju menyukai dunia bahasa dan literatur, ia ingin meneruskan kuliah di pendidikan seni. Namun akibat tekanan dari lingkungan, ia harus menjadi seorang insinyur. Seperti kilas balik saat Raju dan ayahnya sedang berdialog, ayahnya hanya bertanya, "Selanjutnya kamu mau menjadi dokter atau insinyur?," dan tidak memedulikan keinginan Raju.

Hal lainnya yang cukup berkesan bagi saya adalah saat Raju berbicara dalam Bahasa Inggris yang fasih dan lawan bicaranya kaget dan bertanya dari mana ia bisa belajar Bahasa Inggris. Menurut saya  dialog ini menggambarkan stereotip individu dari golongan pekerja kerah biru tidak dapat berbahasa Inggris. Sebuah kesenjangan yang telah diekspektasikan.


Potensi yang terabaikan

Banyak sekali aspek di film ini yang membuat saya gemas saking kesalnya. Pertama, saat Raju mengungkapkan kepada Ny. D'Souza bahwa ia sebenarnya memiliki minat di bidang seni. Ny. D'Souza sendiri merupakan seorang pelukis, namun dialog tersebut terkesan mati karena tidak ada gayung yang bersambut. Mata Ny. D'Souza tidak mendadak berbinar mendengar ada seorang anak muda yang memiliki minat yang sama dengan dirinya. Suasana tidak mendadak lebih akrab dan hangat. Hingga akhir film, Ny. D'Souza seolah lupa atau tidak mendengar bahwa Raju, yang menghabiskan hampir setiap hari bersama dengannya, memiliki bibit sebagai seniman.

Interaksi lainnya yang menurut saya amat disayangkan karena kurang digali adalah antara Raju dengan Princess. Sama halnya dengan Raju, Princess juga merasa tertekan karena jalan hidupnya seolah sudah diatur oleh orang tuanya. Selain itu, Princess juga suka membaca dan memiliki banyak kumpulan buku. Sayang sekali tidak ada dialog bermakna antara Raju dan Princess.

Hal lain yang membuat saya garuk-garuk kepala bingung adalah penyelesaian konflik keluarga Tawade yang.... begitu saja? Tidak ada dialog closure antara kedua orang tua dengan Raju. Tidak ada kata maaf ataupun rasa bangga yang terucap (well, mungkin ini khas dari Asian parenting, tapi di film keluarga seperti ini, saya rasa amat perlu mematahkan stereotip tersebut). Saya ingin sekali rasanya menuntut orang tua Raju untuk mendengarkan isi hati Raju. Saya juga tidak kalah gemas ingin menyentil telinga Raju dan meminta dia menyadari segala keluhnya selama ini. Intinya saya ingin closure yang hangat untuk keluarga Tawade ini.

Mungkin tujuan film ini adalah sebagai kritik sosial yang membuka dan menyisakan rasa hangat di hati penontonnya. Sayangnya saya malah dipenuhi rasa bosan dan sinis saat menontonnya, karena alih-alih memotivasi, film ini seolah mengelukan bahwa penawar tragedi sosial hanyalah dongeng belaka.

The Lift Boy dapat disaksikan di Netflix.

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.