Film Pendek: Lemantun (2014)

Jumat, Mei 01, 2020

"Kalau sampai besok belum kamu ambil, kamu saya denda Rp100.000,00 per harinya."

Di sebuah pertemuan keluarga, ibu membagikan warisan kepada lima orang anaknya. Warisan tersebut bukan berupa uang, tanah, atau perhiasan, melainkan lima buah lemari yang merupakan penanda lahir dari tiap anaknya. Tuntutan sang ibu hanya satu, setiap anak harus membawa pulang lemari miliknya ke rumah masing-masing hari itu juga. Bila tidak, Ibu akan mengenakan denda per hari. Lantas bagaimana dengan anak yang belum memiliki rumah?

Tri dan Saudara-Saudaranya

Tri, sesuai namanya, merupakan anak ketiga ibu. Tri belum memiliki rumah sendiri. Berbeda dari keempat saudaranya, Tri tidak memiliki gelar akademis. Tri juga selama ini tinggal bersama ibu, membantu mengurus rumah sembari berjualan bensin eceran di depan rumah.

Sejak awal film, kita sudah dapat melihat dan menilai perbedaan Tri dari seluruh saudaranya. Dari sisi fisik, Tri nampak paling kurus dan berpakaian paling lusuh jika dibandingkan dengan empat saudara lainnya. Di saat seluruh saudaranya duduk di kursi, berbicara dengan suara lantang, Tri duduk di lantai, berbicara  seperlunya dengan suara pelan dan santun sembari "bekerja".


Pun halnya ketika ibu sedang berbicara. Seluruh anak memang diam mendengarkan, namun cara mendengarkan dan memberi perhatiannya pun berbeda. Ada yang menyimak, ada yang sembari ngemil, ada juga yang sambil sibuk dengan gawainya. Tri? Mendengarkan sambil sibuk bekerja, menggulung nomor undian lemari dari kertas bekas kalendar yang tentunya ia juga yang menyiapkan.

Saat para saudara memboyong lemari pun kita bisa melihat perbedaan tingkat ekonomi yang digambarkan dari media angkut yang digunakan tiap saudara. Ada yang membawanya dalam mobil pribadi, ada yang menyewa mobil box, mobil pickup, dan motor roda tiga, sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing.

Tri dan Lemarinya

Ketika saudara-saudaranya memulai perburuan lemari, Tri masih tinggal di ruang keluarga. Ia belum beranjak mengikuti saudara-saudaranya. Tri masih sibuk membereskan gelas-gelas berisikan sisa teh milik ibu dan para saudaranya. Scene kemudian berlanjut ke interaksi saudara-saudara Tri mengomentari lemari-lemari yang satu sama lain dapatkan.

Saat tugas-tugas Tri sudah selesai, ia pun mencari lemarinya yang ternyata berada di dapur. Para saudara ikut melihat lemari Tri dan mulai bernostalgia bagaimana Tri kecil sering meringkuk bersembunyi di dalam lemari tersebut. Di scene ini juga Tri menawarkan untuk mengantarkan satu per satu tiap lemari saudara-saudaranya. Sebuah tawaran yang disambut baik oleh seluruh saudaranya, namun ditangkis oleh ibu dengan alasan ibu akan merasa lega jika lemari tersebut secepat mungkin bisa dibawa pulang. Si bungsu pun bertanya-tanya bagaimana nasib lemari Mas Tri?

Tri belum memikirkan nasib lemarinya. Ia sibuk membantu saudara-saudaranya memboyong lemari masing-masing. Hingga kemudian Tri malah ditinggalkan tanpa sempat berpamitan dengan keempat saudaranya.


Lemari

Ketika saya membaca bahwa Wregas Bhanuteja, sang sutradara, mengungkapkan bahwa lemari merupakan analogi dari rahim ibu, saya semakin tersentuh dengan film pendek ini. Bagaimana Tri yang sedari kecil hingga saat ini tetap tidak bisa jauh dari ibu. Momen ketika Tri masuk ke dalam lemari, membuat saya merasa bahwa ada kegundahan dalam diri Tri yang bisa sejenak ia lupakan dengan kembali ke ibunya. Belum lagi ketika lemari milik Tri ternyata terletak di dapur yang memiliki makna sebagai heart of the house.

Saat ibu meminta anak-anaknya untuk membawa lemari tersebut ke rumah masing-masing, nampak keempat saudara Tri merasa bingung memikirkan cara membawa lemari tersebut pulang. Padahal rumah ibu adalah rumah mereka juga. Hal ini menandakan bahwa 'pulang' dalam kosa kata keempat saudara Tri bukanlah lagi rumah ibu.

Berbeda dengan Tri yang tidak pernah memiliki rumah lain selain rumah ibu, sehingga Tri malah bingung harus dibawa kemana lemarinya? Tri sudah 'pulang'. Tri tidak tidak memiliki rumah. Malah menurut saya, Tri adalah nyawa dari rumah ibu. Jika Tri tidak mendampingi ibu, dengan kondisi ibu yang sudah semakin tua, belum tentu rumah tersebut masih bisa 'hidup' seperti saat ini.


Semakin mendekati akhir film, kita bisa melihat bagaimana nasib lemari yang diwariskan ibu kepada seluruh anaknya. Mulai dari diletakkan di kantor sebagai tempat arsip, diletakkan di gudang, dijadikan barang rongsok, bahkan dijual. Lemari Tri? Digunakan sebagai tempat menyimpan botol-botol bensin yang ia jual di pinggir jalan depan rumahnya.

Bukan Malin Kundang

Jika pada umumnya film atau cerita yang menyampaikan pesan moral untuk menghormati orang tua digambarkan layaknya cerita Malin Kundang, di mana si anak menjadi sukses lalu tidak menganggap orang tuanya, dan kemudian berlanjut dengan jerit tangis dan kutukan dari sang ibu, film pendek Lemantun menurut saya justru menggambarkan bagaimana besarnya keikhlasan seorang ibu dan anak-anak yang bisa tetap sukses dan menghormati orang tuanya, namun mengasihi dengan cara yang berbeda.

Empat dari lima anak ibu memiliki gelar akademis, bekerja, memiliki rumah tangga sendiri. Tidak ada satu pun anak dari ibu yang bertindak kurang ajar, bahkan sekadar menaikkan suara saja tidak. Tidak ada yang meremehkan lemari di hadapan ibu. Apa yang anak-anak ibu lakukan atas lemari merupakan hak dan cara pandang anak-anak tersebut setelahnya.

Di sinilah saya merasa kita diajak untuk berpikir dan menanamkan ide yang masih dirasa asing: bagaimana menjadi seorang anak yang berbakti pada orang tua? Apakah kita harus menjadi seperti Tri yang selalu sedia membantu ibu dan secara fisik hadir di sisi ibu? Apakah kita harus mengampu gelar akademik dan memiliki pekerjaan yang disegani masyarakat?

It's a rhetorical question.

Lemantun (2014) dapat ditonton di kanal Youtube sang sutradara, Wregas Bhanuteja.

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.