Memulai Petualangan Kesehatan Mental

Minggu, November 15, 2020

Seperti mencari jodoh, mencari psikiater dan psikolog pun sama peliknya. Mungkin saking sedikitnya referensi yang didapat oleh lingkungan sekitar saya, saya cukup sering mendapatkan pertanyaan, "Baiknya ke psikolog atau ke psikiater ya?" yang kemudian disusul dengan, "Ada saran mesti ke mana, ga?"

Sebagai individu yang pernah berada di posisi kesulitan untuk bertanya, tentunya saya tidak asing dengan rasa bingung tersebut. Petualangan saya mencari psikiater dan psikolog pun cukup panjang, apalagi di awal perjalanan, saya masih sendirian dan bisa dikatakan hampir tidak memiliki support system. But these too shall pass, indeed.

Desember 2018, saya memutuskan untuk mencari psikolog, sekadar sebagai tempat menumpahkan keluh-kesah saya yang sudah menggunung. Sekadar gambaran bagi teman-teman yang belum pernah merasakan burnt out atau rasa jenuh dan lelah yang tidak terkatakan, untuk memutuskan mencari pertolongan adalah suatu hal yang luar biasa bagi kami. Jadi jika ada teman kalian yang mengutarakan kelelahan atau kejenuhan yang serupa, tolong dibantu untuk mencari wadah yang tepat yaa..

Sebagai anak kost yang masih berstatus sebagai CPNS, tentunya saya tidak bisa seenaknya memilih psikolog, karena saya tahu rate konsultasi itu mahal. Ada banyak pertimbangan yang saya perhatikan.

1. Metode Konsultasi

Bagaimana saya ingin berkonsultasi dengan psikolog? Apakah secara tatap muka, mengobrol online, atau via telepon? Saat saya sedang dalam posisi sangat down, saya tidak bisa bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Namun keinginan saya untuk berkonsultasi lebih kuat dibanding rasa takut tersebut. Selain itu saya merasa perlu melihat langsung respon non-verbal dari lawan bicara, untuk membaca apakah yang bersangkutan memang merasakan empati atau malah mengecilkan perasaan yang dialami kliennya. Iya, saya curigaan. Maka dari itu, saya memilih opsi pertama, yaitu konsultasi langsung secara tatap muka.

2. Lokasi Konsultasi

Oke, saya memutuskan untuk berkonsultasi secara tatap muka. Pertanyaan selanjutnya, ke mana saya harus pergi? Saya lalu googling dengan keyword 'psikolog di Jakarta Selatan'. Ada banyak psikolog yang dapat ditemukan di sekitar saya yang prakteknya mulai dari di rumah sakit, puskesmas, dan klinik. Selain itu saya juga menemukan sebuah cuitan di Twitter (yang sayangnya sudah menghilang saat ingin saya lampirkan di sini) berisi daftar lokasi puskesmas yang menyediakan layanan psikolog dan psikiater. Berkat cuitan inilah saya akhirnya mengerucutkan pilihan untuk mencoba ke psikolog di puskesmas.

3. Biaya Konsultasi

Seperti yang sudah saya singgung di awal, biaya per sesi konsultasi dengan psikolog sangat bervariasi, bahkan ada yang menerapkan sistem biaya tambahan jika sesi konsultasi melewati batas waktu. Sedangkan petualangan mencari psikolog/psikiater yang benar-benar cocok dengan diri kita tidaklah mudah, jadi saya harus antisipasi dengan memulai dari yang paling terjangkau terlebih dahulu, yaitu puskesmas yang melayani pengguna BPJS. Bagi yang memiliki asuransi lainnya, silakan dicek dahulu apakah melayani konsultasi untuk kesehatan jiwa atau tidak. Karena saat ini, asuransi yang digunakan oleh kantor suami saya ternyata sudah tidak melayani segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan jiwa.

4. Preferensi Lainnya

Poin-poin lain yang dapat dijadikan pertimbangan sesuai preferensi kalian adalah jenis kelamin dan usia psikolog/psikiater. Hal ini, jika tidak sesuai dengan preferensi, bisa saja mempengaruhi sesi konsultasi menjadi tidak nyaman dan kurang terbuka. Contohnya: konselor kalian ternyata lebih muda usianya dari kalian, tidak menutup kemungkinan akan terbersit pikiran 'ah saya kan lebih tua, lebih banyak pengalaman, mana mungkin dia paham...'. Jadi bila kalian merasa hal-hal tersebut dapat muncul di tengah konsultasi, sebaiknya dipikirkan dahulu konselor seperti apa yang kalian rasa dapat menjadi seseorang yang kalian percaya dan hormati. Saya sendiri lebih condong ke psikolog/psikiater perempuan yang usianya tidak begitu senior. Alasannya: karena saya dari dulu selalu menginginkan kakak perempuan, jadi setidaknya saya merasa seolah sedang curhat dan meminta nasihat dari kakak saya.

Empat poin ini yang dulu menjadi acuan saya dalam memilih psikolog. Puji Tuhan, perjalanan mencari psikolog saya tidak lama, bahkan tergolong sangat cepat. Mencari psikiater? Nah itu lain lagi, petualangannya puanjaaaang, saking panjangnya, draf blogpost-nya pun tak kunjung selesai.

Untuk poin satu sampai tiga ini sebenarnya masih bisa diulas lagi, namun daripada post ini jadi kelewat panjang, nanti akan saya jabarkan lebih lanjut per poinnya yaa...

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.