The greatness of nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated." —Mahatma Gandhi

Paw Stories: Hidup Berdampingan dengan Satwa berisi kumpulan kisah inspiratif para individu dalam menyelamatkan, merawat, dan mencintai satwa. Tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan sudut pandang yang mendalam tentang hubungan manusia dan hewan, serta pentingnya memberikan kesempatan kedua bagi para satwa yang membutuhkan. Kita dapat membaca kisah para satwa penyintas kekerasan yang menggugah hati dan tentang kekuatan kasih sayang yang dapat mengubah nasib mereka.

Keragaman latar belakang individu yang terlibat dalam kisah-kisah di buku ini memberikan variasi representasi yang bisa menyentuh banyak lapisan masyarakat. Mulai dari individu yang mengelola shelter, rescuer, streetfeeder, hingga public figure yang seluruhnya memiliki satu visi: menyelamatkan dan memberikan kasih sayang kepada satwa. Pesan yang tersemat ini menjadi pengingat bahwa siapa pun, sesederhana apa pun, dapat turut berperan untuk melindungi dan menyelamatkan satwa.

Salah satu keistimewaan buku ini adalah rasa hangat yang berhasil disampaikan dalam wujud teks. Bukan hanya kasih sayang dari manusia ke satwa, namun juga cara para satwa berhasil menyentuh dan menghadirkan kehangatan dalam hidup manusia. Buku ini mengingatkan bahwa satwa bukan hanya sekadar hewan peliharaan; mereka adalah teman, penyemangat, dan anggota keluarga yang setia.

Selayaknya memperlakukan manusia, tanggung jawab kita terhadap satwa juga merupakan suatu komitmen dan amanah yang harus dijalankan dengan sepenuh hati. Satwa yang kita adopsi bukanlah "mainan" yang bisa diabaikan kebutuhannya atau dibuang saat "rusak". For us, they just a part of our world. But for them, we are their world.

Selain kumpulan kisah, buku ini juga menyajikan berbagai tips dan edukasi tentang satwa dan gerakan 'adopt don't shop' untuk memberikan kesempatan kedua bagi para satwa, serta meminimalisir para breeder yang tidak bertanggungjawab.

Sayangnya, saya memerlukan waktu cukup lama untuk menyelesaikan buku ini karena tiap kisah disajikan dalam bab terpisah, sehingga terasa monoton dan membosankan. Mungkin akan lebih menarik jika kisah-kisah yang serupa disatukan dalam sebuah bab besar, sehingga bisa memberikan ruang eksplorasi mengenai fenomena tersebut melalui sudut pandang penulis.

Saya berharap buku ini dapat menjadi koleksi pribadi di rumah, perpustakaan, atau di area ruang tunggu vet atau pet shop agar semakin banyak orang yang bisa membacanya, tersentuh, dan berempati pada satwa.

"Patah hati tidak hanya mengajarkan apa yang tidak kita mau, tapi juga memberikan keberanian untuk menjalani apa yang kita mau."

Saya lupa kapan terakhir kali saya membaca metropop. Seperti sound yang viral di media sosial beberapa waktu lalu, entah apa yang merasuki sampai saya tiba-tiba saja mengunduh buku ini di Gramedia Digital... dan langsung menyelesaikan membacanya dalam waktu tiga jam.

Ganjil-Genap adalah metropop buah karya Almira Bastari yang mengisahkan Gala, seorang wanita karir di akhir usia 20an, yang hubungan cintanya selama 13 tahun berakhir di parkiran, bukan di pelaminan. Usaha Gala untuk menyembunyikan status single-nya dari keluarganya menjadi semakin menantang karena sang adik ternyata kebelet menikah dan sungkan untuk melangkahi Gala. Di sinilah proyek pencarian jodoh untuk Gala dimulai.

Gala is everything I, and most of the people, are not.

Hidup Gala sesungguhnya baik-baik saja. Gala punya pekerjaan tetap dengan lingkungan kantor yang sehat, serta atasan yang suportif dan helpful bagaikan teman. Dari pekerjaannya, Gala punya penghasilan yang tentunya sangat cukup hingga ia bisa mengambil dua bulan unpaid time off untuk healing. Hidup Gala nyaman. Gala akan baik-baik saja.

Premis mengenai Gala yang dirasa harus segera menemukan pengganti mantannya sebelum sang adik menikah, menjadi sesuatu yang tidak urgent. Terlebih karena karakter Gala digambarkan sebagai sosok yang penuh perhitungan dan cerdas.

Mungkin akan beda ceritanya jika Gala berasal dari keluarga biasa-biasa saja, dengan pekerjaan yang membuatnya terkadang membenci hari Senin. Akan lain halnya jika gaji Gala hanya sedikit di atas UMR dan harus mempertimbangkan antara menikmati live music yang nyaman di akhir pekan atau berburu tiket pesawat promo ke negara tetangga.

Call me a hypocrite, meski saya lelah dengan metropop yang selalu menggambarkan jurang strata sosial yang dalam dan karakter yang hampir tak bercela (baca: latar belakang pendidikan baik, paras rupawan, dan tajir melintir), tapi saya tetap bisa menahan senyum malu-malu saat membaca interaksi Gala dan [redacted]. Saya bisa ikut menahan amarah dan membayangkan skenario yang terjadi jika saya menjadi teman Gala dan harus melihat ia diperlakukan seenaknya oleh Bara. Saya bisa merasakan bersitan rasa bangga dan puas dengan keputusan Gala yang... well, realistis.

"Bahagia harus datang dari diri sendiri. Tidak memiliki pasangan tidak menjadikan dunia berakhir. Dunia berjalan semestinya."

Sebagai karya pertama Almira Bastari yang saya baca, terlepas dari taburan gemerlap janji ibukota yang terlalu cringey bagi saya, gaya bercerita dan penulisan Almira Bastari yang witty berhasil membuat saya penasaran untuk mencari tahu karya lainnya.

I cannot human properly today.

when my father died, I didn't had time to grief. I held his head. I whispered in his ear. I kissed his hands. I helped the nurses took off all the cables. I brought a seat to my mom. I wrapped his still warm body. I called the distant family, our closest neighbours, and answered the same questions for gazillion times. I asked my cousin to book the funeral home. I signed lots of paperwork. then I went home alone.

I took his suit. his favourite shoes. I took my time to choose a pair of socks because oh how he loved socks. he had a lot of socks. I chose a tie, the one he wore at my brother's wedding. it reminds me how he didn't attend mine. but it's okay. I can grieve later.

then I went to the funeral home. it was already packed with a lot of unfamiliar faces demanded to be recognized. I sneaked to the morgue. I stare at you. hoping that you could at least pull one last silly practical joke and suddenly raised your eyebrow or jumped at me. you didn't. but I didn't cry. I cannot cry. there were a lot of people out there and I need to "socialize".

dark jokes is always my coping mechanism.

my therapist suggest writing... well that works too, but I prefer jokes. that night, as mom and I lied in the tv room, mom said, "wow, mama jadi janda..." to which I replied, "wow, adek jadi yatim..." dark jokes run in the family.

that night, we fell asleep and didn't cry.

when my brother and his wife arrived the next morning, they cried. as much as I could remember, I did not cry. I mean, someone has to function properly, right? the day's still long and there will be more people coming. I cannot cry right now. I'll be exhausted if I cry right now.

there's a gospel song that I really love.

the lyric is simple yet meaningful for me. I used to play it in the piano and sing it quietly. whenever my little baby cousin threw tantrums, I sing or hum the song to him and he went calm almost immediately. so when I was in the hospital room with my father as he screamed and groaned in pain, I sang the song to him. and to my surprise, he tried his best to sing it too. we sing for hours. we sing it for days. he even sing it alone when I'm too tired and my throat was sore. but then I have to chime in because he ran out of breath yet wanted to hear the song.

we sing it at the service in the funeral home. and I finally cried. we sing it as we lower his coffin to the ground, to his final resting peace. and I cried. and mom cried. and my little baby cousin cried.

it was my favourite song, pa.

I always thought I was going to be in The 27 Club. and I told mom to sing that song at my funeral. I never imagined that now I associate the song to you. to the war we fought. to the pain you and I both had to endure, because every scrap of you would be taken from me.

I'm way pass 27 now. I made it out alive. you were 61. you made it to the finish line.

we won.

for months after you're gone, I had nightmares.

I still haven't visited your grave, but that's for another story and grief is an endless journey.

this morning, I put on the same shirt I wore two years ago when you left. the one that I took from your wardrobe because I ran out of clothes. maybe one day I will forget about this shirt, but today I won't.

I sit down and write this while singing the song to myself.

then I let myself cry.

I will always miss you.

I'm a lot better now, so don't you worry. Your little girl will always be fine.

Ketika saya memutuskan untuk akhirnya berlangganan Gramedia Digital Premium, buku dari Puty Puar ini merupakan buku pertama yang saya cari dan baca di aplikasi tersebut. Hanya dalam beberapa jam, saya sudah selesai membacanya dan langsung mengulasnya di akun Goodreads saya.

Dalam buku yang bertajuk Empowered ME (Mother Empowers), Puty Puar mengombinasikan kemampuan berpikir kritis, menggambar, dan kecintaannya pada bullet journaling untuk mengajak para ibu bersahabat dengan diri sendiri. Semakin kita memahami dan berdamai dengan diri, semakin kita menyadari dan menemukan potensi untuk berdaya dan memberdayakan orang lain.

Sama halnya dengan membentuk tali persahabatan dengan orang lain, proses bersahabat dengan diri sendiri juga dimulai dari mengenali dan memahami. Hal ini bukanlah sesuatu yang sederhana karena manusia bersifat dinamis dan selalu berubah. Maka dari itu, memahami diri sendiri menjadi proses seumur hidup.

Awalnya saya mengira buku ini akan menjadi teman saya untuk bersantai. Namun ternyata bukunya lumayan serius memperkenalkan Wheel of Life, serta beragam bagan, kolom, dan tabel, mulai dari habit tracker hingga matriks Eisenhower, yang dapat diisi sesuai tujuan dan kondisi kita, dan dapat menjadi cheat sheet ketika kita mulai merasa hilang arah. Tapi tenang saja, ilustrasi-ilustrasi dari Puty Puar selalu menyegarkan halaman sehingga kita tidak merasa jenuh.

Mengingat latar belakang pendidikan teknik Puty Puar, tidak heran jika Empowered ME disusun dengan sistematis dan mengalir hingga akhir halaman. Bahkan di setiap akhir bab terdapat intisari atau rekapitulasi bab tersebut. Ini sangat membantu bagi pembaca sehingga tidak perlu bolak-balik halaman untuk mengingat kembali poin-poin penting yang bisa dicatat.

Meski saya belum menjadi ibu, tapi isi dari buku ini sangat relatable dengan keseharian saya. Apalagi  beberapa bulan belakangan ini saya memang sering berkontemplasi atas keputusan-keputusan yang saya ambil (atau tinggalkan). Kudos to Mbak Puty yang berhasil menginspirasi tanpa menggurui.

Sometimes getting exactly what you wish for can be the worst thing that happens to you.

Choo Choo, seekor rubah-anjing, lahir dari guratan tangan Citra Marina di waktu bepergiannya menggunakan Commuter Line (atau KRL). Setelah selama ini dikenal melalui akun Instagram @real_choochoo, sekarang Choo Choo hadir dalam bentuk buku.

Bukunya mungil. Bahkan walau dibalut dengan hardcover, ukurannya hanya sedikit lebih besar dari smartphone pada umumnya. Tapi warna biru dan merah yang kontras membuatnya segera mencuri perhatian mata.

Saya belum pernah menemukan Choo Choo di beberapa Gramedia yang saya singgahi. Maka ketika saya hendak berkunjung ke Perpustakaan Cikini, saya bahagia sekali saat tahu buku ini ada di katalog mereka. Benar-benar buku pertama yang saya cari dan langsung genggam ketika mendapatkannya di rak perpustakaan.

Euforia saya terbayarkan ketika membacanya. Kata pengantar dari Alanda Kariza terasa sangat seirama dengan pergumulan kaum penyendiri (seperti Citra Marina, Alanda Kariza, Choo Choo, saya, dan mungkin kamu juga?). Ragam petuah, celotehan, dan kontemplasi Choo Choo membuat saya tersenyum karena merasa tersentil dan kadang membatin, "Iya, juga ya..." atau "Iya, ini aku!"

Selama kurang-lebih 20 menit membaca buku ini, Choo Choo berhasil mengajak saya untuk belajar merasakan, merayakan kebahagiaan, menyapa kesedihan, memilih kebaikan, dan menghargai perbedaan.

Tidak semua individu akan sepemahaman dengan Choo Choo. Ada banyak aspek yang mempengaruhi perbedaan tersebut, salah satu yang disinggung dalam buku ini adalah mengenai kepribadian introvert dan extrovert. Maka dari itu, saya tidak kaget ketika menemukan sebuah akun Goodreads menggunakan kalimat frontal dalam mengungkapkan keheranannya atas buku ini dan para individu yang merasa sepemahaman dengan Choo Choo.

Imagine seeing someone only through a small, tiny window... and thinking that you know their entire life.

Selain layak dibeli untuk koleksi pribadi, buku ini juga cocok menjadi hadiah untuk keluarga, teman dekat, kenalan, atau bahkan untuk acara tukar kado. Karena mungkin, tanpa kita sadari, setiap kita terkadang merasa berbeda dan tidak bisa fit in di lingkungan atau momen tertentu. Biarlah melalui buku ini, tiap kita bisa merasa tidak sendiri.

All in all, mengutip Citra Marina pada bagian penutup buku ini, "The in-between, it's not such a lonely place to be in."