Oh boy, this post will be one hell of a ride. Consider this as a warning.
Buku 99+ Wonderful Minds adalah karya dari Dewi Hughes yang berisi kumpulan kutipan dan kalimat singkat yang disertai ilustrasi dan bertujuan untuk membawa energi positif. Mengutip dari laman Goodreads-nya, buku ini diibaratkan 'Seperti multivitamin yang memelihara pikiran tetap jernih dan sehat, membacanya setiap hari memberi energi baru pada setiap tarikan napas, menghapus kepenatan, dan kesesakan dada.'
Saya mulai membaca (dan langsung menyelesaikannya) saat tengah malam, karena saya belum bisa tidur. Alhasil, saya malah makin tidak bisa tidur karena merasa jengah dengan beberapa aspek dari buku ini.
Pertama, kualitas dari versi elektronik buku ini di Gramedia Digital Premium sangat rendah. Terkesan seperti hasil pindai yang sudah melewati banyak proses kompresi, sehingga huruf dan warnanya menjadi pecah. Padahal saya sudah membaca beberapa graphic book lain melalui aplikasi ini, namun belum pernah menemukan kasus serupa.
Kedua, terinspirasi dari kutipan sosok kenamaan lain adalah hal yang wajar. Namun jika parafrasenya malah menghilangkan makna atau nilai dari kalimat itu tersendiri, untuk apa dipaksakan? Tadinya saya mengira otak tengah malam saya yang menyebabkan saya bingung memahami kalimat. Tapi ketika pagi hari datang, saya masih belum bisa memahami beberapa pesan yang ingin disampaikan penulis.
Ketiga, masih berkaitan dengan poin sebelumnya, yaitu makna.
"Sifat manusia yang tidak pernah puas, ibarat seekor kera yang melompat dari satu pohon buah ke pohon lain. Dia tak bisa puas dengan satu berkat yang telah digenggamnya."
Apakah tidak terbersit di benak penulis dan editor, bahwa kera tersebut mungkin saja... memang lapar?
Poin saya adalah, jika kamu memang diberikan kemampuan untuk melahap atau mengeksplorasi tempat kamu bisa mendapatkan berkat, ya silakan saja. As long as you remember, don't bite off more than you can chew. Toh kita memang harus mengosongkan gelas untuk mengisinya.
Calling someone greedy just because they utilize more of what's in their hands than yours, is a childlike behavior. I can't believe I'm getting mad at this lol.
Masih ada beberapa kalimat lain yang membuat saya susah payah menahan diri untuk tidak menyalakan laptop dan mulai mengetik reviu pada tengah malam. (I did write the draft on my Keep though).
"Saat kau berpikir untuk suntik anti keriput, ingat ini: Setiap keriput di wajah kita terukir dari sebuah peristiwa yang memberi hikmah kehidupan. Semakin banyak kerut, seharusnya membuat kita semakin bijaksana."
Mungkin maksud yang ingin disampaikan oleh penulis adalah harapan agar semakin tua seseorang, maka semakin dewasa pula tingkah laku dan pemikirannya. Sayangnya kalimat tersebut seolah hanya menyuarakan pertentangan akan proses kosmetika dan glorifikasi kebijaksanaan dari tampilan fisik.
Oke, selanjutnya.
"Hopeless, ini kata sakti yang berarti kau sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ajaibnya, saat kau hopeless dan menyerah, pintu jalan keluar justru terbuka."
I don't know about her, but if it were up to me, I'd use the word 'surrender'. 'Hopeless' alias menyerah, identik dengan keputusasaan, pengakuan sudah tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk berjuang, takluk. Sedangkan 'surrender' adalah berserah. Identik dengan kemampuan atau kekuasaan individu untuk memberikan kontrol penuh pada pihak lain, pasrah.
You don't give up on God. You surrender all of you to Him.
Next!
"Emosi itu seperti ice cream. Banyak pilihan rasa, begitu menggiurkan. Begitu dimakan, nikmat sebentar lalu mencair tak berbekas."
Sayang sekali kalimatnya terhenti begitu saja. Padahal ambiguitas kalimatnya bisa dipatahkan andai saja penulis mengelaborasi kaitan emosi dan es krim dengan aspek lain, misalnya, memori. Semua emosi tentunya tidak permanen. Tapi kenangan akan hal yang membuat kita merasakan emosi tersebut, tentu sulit untuk dilupakan. Hence the quote from Maya Angelou, "People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel."
Keempat, masih mengenai makna. Sekeras apapun usaha untuk memberikan desain yang indah dan penuh warna, tapi sebaiknya tetap ada korelasi atau benang merah dengan tema atau topik utama.
Membaca (atau melihat) buku ini seperti sedang berseluncur di Pinterest atau Etsy saat era kejayaan gaya shabby chic. Ilustrasinya tumplek-blek berbagai tema, mulai dari a la fashion illustration, pop art, dan colored pencil. Sebagian halaman dipenuhi ragam tekstur, sebagian lainnya hanya warna solid, lalu tiba-tiba saja muncul kombinasi antara tekstur dan warna yang sangat kontras. Belum lagi penggunaan rupa huruf yang membuat saya memicingkan mata karena satu halaman penuh dengan liukan, atau malah merasa diteriaki karena PENGGUNAAN HURUF BESAR YANG MENGABAIKAN JARAK ATAU KERNING.
For a conclusion, mungkin saja saat itu penulis dan editor sedang dikejar tenggat waktu sehingga tidak dapat memperhatikan hal-hal seperti tipografi, pemilihan huruf, warna, dan ilustrasi. I mean, they seems didn't give a deeper thought on the meaning of the sentences, might as well skip all the itty bitty things, right?
Seperti salah satu kalimat yang saya kutip mentah-mentah dari buku ini:
"Hidup tanpa keyakinan seperti makan cotton candy, bisa dimakan tapi tidak memberi makna dan manfaat"
Maka buku ini adalah cotton candy bagi saya.
*
Seluruh gambar diambil dari laman Gramedia Digital.