#yoandynikahin Dua Bulan Lalu!

Senin, April 20, 2020


Astaga, usia pernikahan kami dua bulan! Saya bingung harus menggunakan kata 'sudah' atau 'baru', karena jujur saja, nggak berasa seperti ada yang berubah.

Have I known you twenty seconds or twenty years? Can I go where you go? Can we always be this close forever and ever?

Petikan lirik lagu Lover milik Taylor Swift tersebut bisa menggambarkan kondisi pernikahan di usia ke dua bulan ini. Nggak berasa seperti pengantin baru, tapi nggak berasa seperti orang pacaran lagi. Mungkin ini namanya nyaman.

"Ya, saya bersedia."

Ada baaaanyak sekali istilah-istilah yang digunakan untuk merujuk pada kaum yang belum memiliki pasangan. Saya tahu, karena saya juga pernah berada di posisi itu. Dibilang jones lah, jomlo akut lah, bahkan ditakut-takuti menjadi 'perawan tua'. Pedas sekali memang lambenya orang-orang ini.

Padahal menikah tidak semudah itu. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum memutuskan untuk menikah, baik dari sisi materil maupun mental, karena setelah menikah, hidup tidak lagi sendiri. Kebanyakan orang hanya membayangkan yang manis-manisnya saja, padahal ada berlapis rasa di kehidupan pernikahan. Di usia yang masih cimit-cimit ini, saya sempat ngobrol dengan pasangan mengenai perubahan yang ia dan saya rasakan setelah menjadi suami-istri. Kurang-lebihnya begini...

Gaya hidup dan kondisi finansial

Dulu saya sempat takjub ketika mendengar orang-orang, terutama istri-istri, yang bisa bangun pagi dan mulai beraktivitas. Di kala saya masih menjadi anak kost, kantor dapat dijangkau 10-15 menit saja. Jadi bangun pagi itu hanya di saat-saat terpaksa, antara harus ke bandara karena perjalanan dinas atau ada event kantor. Selain itu, bangun jam 6.30 pagi adalah suatu kebiasaan bagi saya. Sekarang?Jam lima pagi saja saya sudah terbangun, gelisah karena kantuk sudah hilang dan badan sudah mengajak beraktivitas. Apa itu bangun siang??

Semenjak masa-masa work from home ini, dari bangun sampai tidur lagi, kami selalu bersama. Makan sehari tiga kali pun bersama, yang berarti saya harus masak. Satu hal yang amat jarang saya lakukan selama masih menjadi anak kostan. Suami sih senang, karena hidupnya menjadi lebih teratur, makanan lebih terjaga ketimbang saat terus-menerus beli makan di luar. Saya? Agak uring-uringan memikirkan menu makanan. Saya pernah dalam seminggu makan malam makanan yang sama (ayam raos di Setiabudi). Sekarang saya harus memikirkan, "Besok ikannya diapain ya? Masak sayur apa ya?," benar-benar suatu PR. Untungnya suami saya pemakan segala dan jarang complain. Ikan kurang matang? Kulit ayam mengelupas karena nempel di penggorengan? Sup atau sambal kurang asin? Masak sendiri sementara saya main hp? Anteng dia mah. Puji Tuhan.

Jajan makanan via aplikasi online? Harus dikurangi, saudara-saudari... Budget-nya dialokasikan untuk isi token listrik lah, beli air isi ulang, langganan Netflix dan Spotify, baru lebihannya untuk jajan. Kondisi finansial ini juga menjadi suatu hal yang sangat penting dalam suatu hubungan, terutama pernikahan. Saya termasuk golongan istri yang tidak menganut prinsip 'uangmu uangku, uangku ya uangku'. Saya percaya selama ada keterbukaan, semua permasalahan bisa diselesaikan. Toh suami saya juga mempersilakan saya untuk tidak perlu meminta izin kalau mau beli barang-barang yang tidak bersifat krusial. Beli baju? Silakan. Beli kosmetik atau skin care? Silakan. Beli peralatan rumah? Silakan. Paling suami saya komen, "Belanja terooos..."

Tenggang rasa

Setiap pasangan yang tinggal di hunian minimalis pasti akrab dengan istilah 4L atau 'Lo lagi, lo lagi,' begitu pun dengan saya dan suami, ditambah lagi kondisi WFH yang bikin nggak bisa ke luar rumah. Saya mau ke dapur? Harus ngelewatin suami lagi kerja. Mau nonton TV? Ada suami juga. Mau tidur siang? Suami lagi main PES di TV kamar. Mau main sama kucing di teras? Ada suami juga lagi ngaso. Ya makanya nggak bisa ngambek lama-lama. Ketemunya dia aja, gimana mau ngambek coba?

Bukannya enak berduaan terus? Sebagai manusia introvert, akan ada titik di mana kaum-kaum introvert ini ingin sendiri. Ingin hening. Jadi kalau kasusnya 4L begini, masing-masing harus bisa bertenggang rasa, memikirkan perasaan pasangan dan nggak baperan kalau lagi hening. Nah ini. Saya orangnya sensitif banget. Kalau pasangan tiba-tiba diem dengan muka kusut, saya langsung berasa nggak disayang, padahal mah suami kecutnya karena keinget isu di kantor, bukan gara-gara saya. Jadi ya, dua-duanya sama-sama harus belajar untuk tidak tersulut emosi.

Tanggung jawab

Bertanggung jawab tanpa perlu saling tunjuk atau termakan stereotype. Aspek ini menurut saya adalah yang terpenting dari semua. Kalau sudah punya rasa tanggung jawab, kedua aspek sebelumnya pasti akan mengikuti. Bagi saya, memasak dan membereskan rumah bukanlah tanggung jawab istri, tapi tanggung jawab keduabelah pihak.

Pendapat saya mungkin masih kontroversial, tapi sejak dahulu saya selalu percaya bahwa istri bukanlah asisten rumah tangga. Istri dinafkahi, bukan digaji. Seluruh aktivitas yang saya lakukan, energi dan biaya yang saya keluarkan untuk rumah tangga ini bukan semata karena peran saya sebagai istri, namun karena saya seorang individu yang membantu suami saya dalam melangsungkan kehidupan kami berdua. Puji Tuhan, suami saya pun berinisiatif dan tidak masalah membantu memasak, cuci piring, loading dan menjemur cucian, menyapu, mengepel, bahkan menyetrika.

Saya belajar banyak dari rumah tangga lingkungan di sekitar saya, dan saya percaya bahwa ketika setiap individu di dalam rumah tangga memiliki rasa tanggung jawab dan ikut andil memelihara rumah tangga, maka semuanya akan baik-baik saja.

Duh jadi berat obrolannya...

Intinya, rangkaian paragraf di atas merupakan sekelumit pengalaman yang saya dapatkan selama dua bulan ini. Semoga bisa ditarik sisi positifnya yaa 😊 Sekarang saya mau peluk-peluk terima kasih ke suami saya atas ketabahannya menghadapi saya selama dua bulan ini 😆

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.