Menjadi Penyintas Bipolar Disorder
Senin, April 13, 2020"You're only as sick as your secrets. If it is a secret — anything that makes you sort of shame-based — if you can claim it, it has a lot of less power over you"
Saya adalah penyintas bipolar. Sedari SMP, saya mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dari diri saya jika dibandingkan dengan remaja lainnya. Namun saya hanya menganggap asumsi saya tersebut sebagai suatu fase transisi dari anak-anak ke dewasa muda. Seiring waktu, semakin saya membaca berbagai topik tentang psikologi, saya merasa ada kemungkinan besar bahwa saya menderita gangguan kejiwaan. Dulu, saya mengenalnya dengan istilah 'sakit jiwa', tapi belakangan psikiater saya meluruskan dan mengatakan bahwa itu adalah 'gangguan kejiwaan'.
Gangguan kejiwaan... terdengar aneh atau tabu ya?
Tapi sejak saya kenal psikolog dan psikiater, menurut saya gangguan jiwa bukan lagi hal yang aneh, malah semakin banyak saya membaca dan berdiskusi, semakin saya merasa bahwa gangguan kejiwaan merupakan hal normal seperti gangguan kesehatan lainnya. Gangguan kejiwaan perlu disosialisasikan, dibicarakan, dibawa ke ranah yang lebih tinggi sehingga membangunkan masyarakat yang masih tertidur dan mengacuhkan topik kejiwaan ini. Stereotip negatif tentang gangguan kejiwaan perlu diluruskan. Gangguan kejiwaan juga perlu diobati dan ada obatnya kok.
Lantas ada apa dengan saya?
Saya harus menutup tahun 2018 dan mengawali tahun 2019 saya dengan berbagai perasaan dan pengalaman yang... sangat seru. Sakit hati, sedih, kecewa, marah, dan putus asa mungkin cukup mewakili. Di awal tahun 2019, saya memutuskan untuk mencari pertolongan. Saya perlu ngobrol yang bukan hanya sekadar mengobrol, tapi saya perlu ditarik untuk bangkit dan kembali menjalani hidup. Singkat cerita, psikolog saya menjelaskan bahwa saya ada di dalam fase depresi. Berkat bantuan psikolog saya tersebut, saya bisa menjalani sebagian besar 2019 dengan beban yang tidak lagi terasa begitu berat. Langkah kaki sedikit lebih ringan. Lega...
Kalau saya sudah merasa baikan, kenapa saya sampai didiagnosa memiliki bipolar?
Karena saya terus-menerus jatuh ke lubang yang sama. Saya terus mengulang sebuah kesalahan. Ditambah lagi saya baru saja menikah dan saya dan pasangan sepakat bahwa cara saya meluapkan emosi sudah tidak lagi sehat. Pasangan saya mendukung saat saya menyatakan ingin berkonsultasi ke psikiater.
Apa itu bipolar?
Menggunakan bahasa yang manusiawi, dokter menjelaskan ada zat-zat di otak saya yang tidak sinkron. Bahasa awamnya, kalau seharusnya zat-zat tersebut paralel, ini malah zig-zag berlawanan arah. Hal inilah yang menyebabkan munculnya episode dalam hidup para penyintas bipolar dan untuk meluruskan kembali zat-zat tersebut, perlu obat-obatan.
Mengutip dari laman The National Institute of Mental Health (NIMH) mengenai definisi dari bipolar,
"Bipolar disorder is a mental disorder that causes unusual shifts in mood, energy, activity levels, concentration, and the ability to carry out day to day tasks."
Penyintas bipolar akan mengalami perubahan yang cukup ekstrim, dari sisi mood, energi, aktivitas, konsentrasi, dan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas harian.
Apa yang saya rasakan sebelum didiagnosa bipolar?
Membaca adalah hobi saya sedari kecil. Jika tahun-tahun sebelumnya saya bisa membaca ratusan buku, tapi di tahun 2018 saya tidak bisa membaca satu pun buku. Tentunya hal ini menjadi hambatan yang berarti, karena pada tahun 2018 saya harus mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar sebagai CPNS. Bayangkan betapa saya berusaha keras untuk fokus dengan kalimat-kalimat di textbook saya. Puji Tuhan, usaha tersebut berbuah yang cukup manis. Namun saya jadi semakin cepat lelah karena merasa energi saya terkuras habis untuk membuat sebuah tugas saja.
Saya merasa kemampuan kognitif saya semakin menurun dan saat itu saya berasumsi karena saya kekurangan gizi dari sayur-sayuran. Saya pun mulai mengonsumsi suplemen dan memperbaiki pola dan menu makanan saya. Sebisa mungkin saya makan sayur di siang dan malam hari. Tapi berbulan-bulan berlalu, tidak ada yang berubah, sehingga saya akhirnya hanya bisa terus-menerus mengeluarkan energi ekstra untuk berkonsentrasi.
Anehnya, meski saya kesulitan untuk berkonsentrasi, tapi hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi saya untuk melakukan hal-hal baru dan terkesan nekat (but I'll save it for myself or maybe my grandchildren one day). Terkadang saya tidak tidur sama sekali, terkadang saya hanya tidur dan mendekam di kamar kost selama berhari-hari.
Semakin banyak saya membaca mengenai bipolar, semakin saya menemukan jawaban dari segala perubahan yang saya alami. Bahwa semua perubahan drastis tersebut bukanlah hasil imajinasi, kemalasan, ataupun sandiwara, tapi memang ada penjelasan medisnya.
Jadi saya mengonsumsi obat?
Saat ini, iya. Saya mengonsumsi empat jenis obat yang harus diminum sehari tiga kali, setiap hari. Apakah saya akan berhenti mengonsumsi obat? Belum tahu. Tapi sepemahaman saya berdasarkan penjelasan dari psikiater, menjadi penyintas gangguan kejiwaan itu sama seperti penderita diabetes, tidak bisa berhenti minum obat, hanya bisa dikurangi dosisnya.
Apa yang saya rasakan setelah didiagnosa bipolar dan mengonsumsi obat?
Kembali lega. Sedih? Iya, di awal. But every cloud has a silver lining. Sekarang saya sedang belajar berdamai dengan diri sendiri dan memanusiakan gangguan kejiwaan saya. Meskipun menjadi penyintas bipolar bukanlah suatu pembenaran atas tingkah laku saya yang sempat aneh bin ajaib, tapi setidaknya sekarang saya sudah mendapatkan jawaban atas perubahan ekstrim saya.
Saya sudah mengonsumsi obat dan sudah merasakan perubahan yang mengarah ke sisi positif. Perubahan yang paling saya rasakan adalah saat ini saya sudah bisa berkonsentrasi lagi. Saya sudah bisa menulis dan menghidupkan kembali blog ini. Saya sudah semakin jarang marah-marah atas hal kecil dan semakin tenang dalam mengerjakan suatu hal. Yang pasti, saya merasa bahagia.
Teruntuk para penyintas gangguan kejiwaan,
atau para sahabat yang belum terdiagnosa. Kesehatan jiwa itu penting dan bukanlah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, terutama untuk mencari pertolongan ke psikolog dan psikiater. Kita layak kok merasa bahagia. Kita layak ada di dunia.
Maybe you think that you don't deserve anything. But love, I've been there. I've hold the knife, I've drunk the chemicals, I've been in the darkness, the gate, and saw the white light. And I'm here now... Alive. Here's a big and warm virtual hug to each one of you... You are loved.
0 komentar
Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.