Today marks three years of your passing.

I used to think that by now, I could share a story or two of the life lessons you taught us.

You taught me how to determine the safe space between a stove and fridge, how to put out a small fire and what to do when there's a big one, how to use drills, saws, and jacks, and how to properly change lanes, read the street signs, and measure the space to drive safely.

I learnt a lot, yet I lost so much.

I can change flat tires and dismantle furniture, but it took me years to change my negative self-talk and disarm myself from the arrogance. Every scrap of me is indeed taken from you. I can't even sing along to that lyric from Taylor's because it hits too close to home.

I love you, and I don't want to be you.

I'm gonna be a better version of you. The one you maybe hoping you were three years ago when we held hands in the hospital room, singing to my favorite old gospel song that I only sing once a year now because it reminds me of you. I would pay millions to see that man shed tears on my wedding day, and not on his deathbed. But that's the circle of life. The drive in the hearse was our last road trip together, bringing you to your resting place.

I love you, and I'm glad I didn't follow most of your advices. There was distance between us, but as long as the formality stays, we were fine. Now I'm happily married with a man who didn't raise me yet never raised his voice. I never have to deal with awkward silence because he made it comfortable. He pinpoints the problem but never points at me. We fight, we argue, yet we won't leave each other by choice. In the short time of you knowing him, I'm glad your laughter will be one of a few precious memories you shared together.

I am living as a better version of you.

I'm a lot happier now. I still overthink any inconvenience, but I'm content. I laughed the way you laughed. At jokes, not at people.

I run now. I wore the sportswear you bought and never got the chance to use. My feet has muscles and I lost 10 kgs. The endorphins help me to grieve in a healthy way. Yes, I grieve for you sometimes. I grieve for you in the middle of Coldplay's concert. We still grieves for you. But that's okay. We are okay. Life is okay and when bad things happen, I'll ask myself quietly, "What will the kind, loving, and gentle version of my late dad do?"

Because what was lost and taken away, will be shared to as many people as I could.

I cannot human properly today.

when my father died, I didn't had time to grief. I held his head. I whispered in his ear. I kissed his hands. I helped the nurses took off all the cables. I brought a seat to my mom. I wrapped his still warm body. I called the distant family, our closest neighbours, and answered the same questions for gazillion times. I asked my cousin to book the funeral home. I signed lots of paperwork. then I went home alone.

I took his suit. his favourite shoes. I took my time to choose a pair of socks because oh how he loved socks. he had a lot of socks. I chose a tie, the one he wore at my brother's wedding. it reminds me how he didn't attend mine. but it's okay. I can grieve later.

then I went to the funeral home. it was already packed with a lot of unfamiliar faces demanded to be recognized. I sneaked to the morgue. I stare at you. hoping that you could at least pull one last silly practical joke and suddenly raised your eyebrow or jumped at me. you didn't. but I didn't cry. I cannot cry. there were a lot of people out there and I need to "socialize".

dark jokes is always my coping mechanism.

my therapist suggest writing... well that works too, but I prefer jokes. that night, as mom and I lied in the tv room, mom said, "wow, mama jadi janda..." to which I replied, "wow, adek jadi yatim..." dark jokes run in the family.

that night, we fell asleep and didn't cry.

when my brother and his wife arrived the next morning, they cried. as much as I could remember, I did not cry. I mean, someone has to function properly, right? the day's still long and there will be more people coming. I cannot cry right now. I'll be exhausted if I cry right now.

there's a gospel song that I really love.

the lyric is simple yet meaningful for me. I used to play it in the piano and sing it quietly. whenever my little baby cousin threw tantrums, I sing or hum the song to him and he went calm almost immediately. so when I was in the hospital room with my father as he screamed and groaned in pain, I sang the song to him. and to my surprise, he tried his best to sing it too. we sing for hours. we sing it for days. he even sing it alone when I'm too tired and my throat was sore. but then I have to chime in because he ran out of breath yet wanted to hear the song.

we sing it at the service in the funeral home. and I finally cried. we sing it as we lower his coffin to the ground, to his final resting peace. and I cried. and mom cried. and my little baby cousin cried.

it was my favourite song, pa.

I always thought I was going to be in The 27 Club. and I told mom to sing that song at my funeral. I never imagined that now I associate the song to you. to the war we fought. to the pain you and I both had to endure, because every scrap of you would be taken from me.

I'm way pass 27 now. I made it out alive. you were 61. you made it to the finish line.

we won.

for months after you're gone, I had nightmares.

I still haven't visited your grave, but that's for another story and grief is an endless journey.

this morning, I put on the same shirt I wore two years ago when you left. the one that I took from your wardrobe because I ran out of clothes. maybe one day I will forget about this shirt, but today I won't.

I sit down and write this while singing the song to myself.

then I let myself cry.

I will always miss you.

I'm a lot better now, so don't you worry. Your little girl will always be fine.

ini bukan tentang melupakan kenangan― apalagi orangnya. 
ini tentang menerima semua yang terjadi dan terus hidup.

dibaca merupakan sebuah buku sederhana dengan sampul berbahan tebal. Desain sampulnya mengingatkan pada langit senja yang estetik, seperti nama pena yang digunakan penulisnya. Setiap halamannya berisikan satu-dua kalimat singkat disertai ilustrasi hitam-putih yang juga sederhana dan banyak memberi ruang bagi negative space.

Sesuai judulnya, buku ini hanya perlu dibaca saja. Saya tidak menemukan alasan untuk meresapi, memikirkan, bahkan menganalisa isinya karena kesederhanaan yang ditawarkan bagi pembaca, yang saya yakin target pasarnya bukan pembaca yang berharap menemukan bait puisi dipenuhi metafora.

Meski demikian, ada dua hal yang hilang sehingga terasa mengganjal selama saya membaca buku ini: pertama, tidak adanya daftar isi yang membuat saya merasa penulis tidak memiliki anjuran cara saya membaca buku ini.

Kedua, berkaitan dengan ketiadaan daftar isi. Saya malah merasa bingung ketika membaca halamannya secara berurutan karena tidak ada korelasi isi atau konteks antar halaman. Isinya terasa random, seperti catatan kecil yang ditulis acak di aplikasi handphone. Saya mengira akan ada bagian-bagian dengan benang merah yang menuntun saya dari rasa kecewa, putus asa, menyesal, hingga menemukan asa untuk kembali berharap.

Terlepas dari kedua hal tersebut, tidak ada salahnya menikmati buku ini. Apalagi karena dapat dibaca dalam waktu singkat dan dimanjakan dengan desainnya yang minimalis dan estetik.

Berawal dari browsing inspirasi rak buku dan credenza, saya menemukan sebuah foto yang membuat saya ber-ih iya juga ya!

Foto ini mengingatkan akan dosa masa lalu saya sewaktu SMA yang sempat memelihara sepasang hamster berwarna putih dan coklat, yang tentu saja saya beri nama Uti dan Okat. Kreatif!

Memelihara hamster (or any kind of legal pet of your choice) menurut saya adalah salah satu definisi kegiatan nggak ngapa-ngapain, membuang waktu, tapi tidak sia-sia. Bukan tanpa alasan. Setiap hari, saya bisa ngejogrok berjam-jam di depan kandang hamster, berdialog satu arah, dan ngetawain si hamster dengan segala kelincahan dan "kebodohan"-nya. Mulai dari muter-muter di rodanya, guling-guling di wadah makanannya, saling panjat dengan roommate-nya, nimbun makanan di dalam mulutnya sampai pipinya jadi kembung sebelah, hingga jatuh bergelinding dari tangga kandangnya.

Sayangnya, yang lucu bagi saya ternyata malah mencelakai hamster-hamster tersebut. Tidak ada seekor pun hamster saya yang mencapai usia enam bulan di rumah. Saya merasa berdosa sekali karena ketidakpahaman saya dalam merawat dan memperhatikan well-being mereka. 

Hamster 101

Salah: Menggunakan kandang jeruji yang banyak di pasaran.

Benar: Menggunakan kandang model akuarium yang berpermukaan datar dan tanpa jeruji, seperti pada foto pertama di post ini. Kandang bertingkat bukanlah kewajiban bagi hamster karena mereka akan rentan sakit, bahkan mati jika terjatuh. Sehingga kalau ingin menggunakan kandang bertingkat tidak boleh terlalu tinggi.

Salah: Bedding atau alas kandang menggunakan serbuk kayu sembarang. Bahkan saya dulu menggunakan serbuk sisa produksi tukang kayu.

Benar: Menggunakan bedding yang khusus untuk hamster, tidak mengandung wewangian, tidak berasal dari kayu pinus atau cedar, dan tebal minimal lima centimeter agar tidak membahayakan hamster yang hobi nyusruk dan jatuh.

Salah: Menempatkan dua (bahkan lebih!) hamster dalam satu kandang.

Benar: Satu kandang atau enclosure untuk satu ekor hamster. Hamster bukan hewan yang mudah kesepian kok. Mereka malah cenderung sering berantem dengan roommate-nya. Jadi kecuali saat akan dikawinkan, hamster sebaiknya terpisah. Apalagi setelah hamster betina hamil dan melahirkan. Bayi-bayi hamster rentan dimakan oleh hamster senior.

Itu adalah beberapa kesalahan saya saat memelihara hamster dulu. Sekarang setelah saya lebih banyak mencari tahu cara merawat hamster dan melihat akun-akun petstagram, saya jadi kepincut untuk memelihara hamster lagi. Apalagi membayangkan serunya bikin meja tv custom merangkap kandang hamster. Tapi karena sudah ada Bibi, si kucing hitam penguasa rumah, jadinya impian menambah hewan peliharaan lain harus kami urungkan. Bisa-bisa hamsternya stress karena terus-menerus diintai.

*

Sumber:
Gambar 1 | Gambar 2 | Gambar 3 | Gambar 4

Oh boy, this post will be one hell of a ride. Consider this as a warning.

Buku 99+ Wonderful Minds adalah karya dari Dewi Hughes yang berisi kumpulan kutipan dan kalimat singkat yang disertai ilustrasi dan bertujuan untuk membawa energi positif. Mengutip dari laman Goodreads-nya, buku ini diibaratkan 'Seperti multivitamin yang memelihara pikiran tetap jernih dan sehat, membacanya setiap hari memberi energi baru pada setiap tarikan napas, menghapus kepenatan, dan kesesakan dada.'

Saya mulai membaca (dan langsung menyelesaikannya) saat tengah malam, karena saya belum bisa tidur. Alhasil, saya malah makin tidak bisa tidur karena merasa jengah dengan beberapa aspek dari buku ini.

Pertama, kualitas dari versi elektronik buku ini di Gramedia Digital Premium sangat rendah. Terkesan seperti hasil pindai yang sudah melewati banyak proses kompresi, sehingga huruf dan warnanya menjadi pecah. Padahal saya sudah membaca beberapa graphic book lain melalui aplikasi ini, namun belum pernah menemukan kasus serupa.

Kedua, terinspirasi dari kutipan sosok kenamaan lain adalah hal yang wajar. Namun jika parafrasenya malah menghilangkan makna atau nilai dari kalimat itu tersendiri, untuk apa dipaksakan? Tadinya saya mengira otak tengah malam saya yang menyebabkan saya bingung memahami kalimat. Tapi ketika pagi hari datang, saya masih belum bisa memahami beberapa pesan yang ingin disampaikan penulis.

Ketiga, masih berkaitan dengan poin sebelumnya, yaitu makna.

"Sifat manusia yang tidak pernah puas, ibarat seekor kera yang melompat dari satu pohon buah ke pohon lain. Dia tak bisa puas dengan satu berkat yang telah digenggamnya."

Apakah tidak terbersit di benak penulis dan editor, bahwa kera tersebut mungkin saja... memang lapar?

Poin saya adalah, jika kamu memang diberikan kemampuan untuk melahap atau mengeksplorasi tempat kamu bisa mendapatkan berkat, ya silakan saja. As long as you remember, don't bite off more than you can chew. Toh kita memang harus mengosongkan gelas untuk mengisinya.

Calling someone greedy just because they utilize more of what's in their hands than yours, is a childlike behavior. I can't believe I'm getting mad at this lol.

Masih ada beberapa kalimat lain yang membuat saya susah payah menahan diri untuk tidak menyalakan laptop dan mulai mengetik reviu pada tengah malam. (I did write the draft on my Keep though).

"Saat kau berpikir untuk suntik anti keriput, ingat ini: Setiap keriput di wajah kita terukir dari sebuah peristiwa yang memberi hikmah kehidupan. Semakin banyak kerut, seharusnya membuat kita semakin bijaksana."

Mungkin maksud yang ingin disampaikan oleh penulis adalah harapan agar semakin tua seseorang, maka semakin dewasa pula tingkah laku dan pemikirannya. Sayangnya kalimat tersebut seolah hanya menyuarakan pertentangan akan proses kosmetika dan glorifikasi kebijaksanaan dari tampilan fisik.

Oke, selanjutnya.

"Hopeless, ini kata sakti yang berarti kau sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ajaibnya, saat kau hopeless dan menyerah, pintu jalan keluar justru terbuka."

I don't know about her, but if it were up to me, I'd use the word 'surrender'. 'Hopeless' alias menyerah, identik dengan keputusasaan, pengakuan sudah tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk berjuang, takluk. Sedangkan 'surrender' adalah berserah. Identik dengan kemampuan atau kekuasaan individu untuk memberikan kontrol penuh pada pihak lain, pasrah.

You don't give up on God. You surrender all of you to Him.

Next!

"Emosi itu seperti ice cream. Banyak pilihan rasa, begitu menggiurkan. Begitu dimakan, nikmat sebentar lalu mencair tak berbekas."

Sayang sekali kalimatnya terhenti begitu saja. Padahal ambiguitas kalimatnya bisa dipatahkan andai saja penulis mengelaborasi kaitan emosi dan es krim dengan aspek lain, misalnya, memori. Semua emosi tentunya tidak permanen. Tapi kenangan akan hal yang membuat kita merasakan emosi tersebut, tentu sulit untuk dilupakan. Hence the quote from Maya Angelou, "People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel."

Keempat, masih mengenai makna. Sekeras apapun usaha untuk memberikan desain yang indah dan penuh warna, tapi sebaiknya tetap ada korelasi atau benang merah dengan tema atau topik utama.

Membaca (atau melihat) buku ini seperti sedang berseluncur di Pinterest atau Etsy saat era kejayaan gaya shabby chic. Ilustrasinya tumplek-blek berbagai tema, mulai dari a la fashion illustration, pop art, dan colored pencil. Sebagian halaman dipenuhi ragam tekstur, sebagian lainnya hanya warna solid, lalu tiba-tiba saja muncul kombinasi antara tekstur dan warna yang sangat kontras. Belum lagi penggunaan rupa huruf yang membuat saya memicingkan mata karena satu halaman penuh dengan liukan, atau malah merasa diteriaki karena PENGGUNAAN HURUF BESAR YANG MENGABAIKAN JARAK ATAU KERNING.

For a conclusion, mungkin saja saat itu penulis dan editor sedang dikejar tenggat waktu sehingga tidak dapat memperhatikan hal-hal seperti tipografi, pemilihan huruf, warna, dan ilustrasi. I mean, they seems didn't give a deeper thought on the meaning of the sentences, might as well skip all the itty bitty things, right?

Seperti salah satu kalimat yang saya kutip mentah-mentah dari buku ini:

"Hidup tanpa keyakinan seperti makan cotton candy, bisa dimakan tapi tidak memberi makna dan manfaat"

Maka buku ini adalah cotton candy bagi saya.

*

Seluruh gambar diambil dari laman Gramedia Digital.