Terakhir kali saya merasakan koneksi yang sangat mendalam dengan sebuah buku adalah bertahun-tahun yang lalu. Bukunya sampai saat ini masih menjadi salah satu buku favorit saya. Buku yang terasa sangat dekat, you hold it dearly in your heart. Buku favorit yang rasanya bikin cemburu atau gugup kalau ada orang lain yang membacanya. Seolah-olah orang tersebut mau merebut buku favorit kita. Ibaratnya buku harian kita dibaca oleh orang lain.
Tapi mungkin ada benarnya. Maybe it is your diary. Karena di dalam hati kecil kita berandai-andai buku tersebut didedikasikan untuk kita. Atau malah kita yang seharusnya menulis buku tersebut. Every Last Word persis seperti deskripsi saya barusan dan berhasil menjadi salah satu buku favorit saya. Makanya post ini mungkin bukanlah suatu reviu, tapi curhatan saya.
"Still, I can hear this one thought hiding in the dark corners of my mind. It doesn't attack like the others, bu it's frightening in a totally different way. Because it's the one that never leaves. And it's the one that scares me most. What if I'm crazy?"
Sinopsis
Samantha McAllister atau Sam, nampak seperti anak remaja populer lainnya. Namun dibalik kepopulerannya, Sam menyimpan rahasia dari teman-temannya yang tidak akan pernah memahami bahwa Sam memiliki Purely-Obsessional OCD dan selalu dihantui pikiran-pikiran gelap dan kecemasan yang tidak bisa ia hilangkan.
Sam selalu meragukan keputusan, pemikiran, dan kata-kata, sehingga ia merasa sulit menjalani kehidupannya. Ditambah lagi teman akrabnya selalu mengkritisi pilihan-pilihan Sam. Sam menjadi bimbang, karena jika ia memutuskan untuk tidak lagi berteman dengan sesama siswi populer, maka Sam benar-benar akan menjadi "gila".
Sampai akhirnya Sam berkenalan dengan Caroline, yang akhirnya memperkenalkan Sam dengan Poet's Corner, sebuah kelompok siswa yang dicap "berbeda". Sam merasa nyaman dan semakin "normal", sampai tiba-tiba Sam menemukan hal lain dan kembali mempertanyakan kewarasannya.
Resensi
Sam adalah seorang OCD yang lebih cenderung ke arah obsesi, overthinker, dan mudah mengalami serangan panik. Saya yakin, bukan hanya saya yang bisa merasakan hal yang sama dengan Sam.
Saya membaca buku ini di tahun 2016, saat saya belum didiagnosa memiliki gangguan kejiwaan, namun saya telah menyadari beberapa indikasinya. Dulu saya merasa takjub atas kemampuan Tamara Ireland Stone mendeskripsikan apa yang saya lihat, rasakan, pikirkan. Terkadang saya malah tidak mampu mengungkapkan perasaan tersebut ke dalam kata-kata dan sekarang justru saya bisa membaca perasaan saya melalui buku ini.
You're telling me to not think. All I do is think. All the time. I think so much, I'm on medication and I see a shrink every Wednesday. I can't not think, Caroline.
Apa yang terjadi pada Sam, seluruh pikiran-pikiran gelap dan liarnya, momen ketika ia memegang gunting, terjadi juga pada saya setiap kali melihat benda tajam. I cannot help but shed a tear as I read that part.
Saya merasa sedih untuk Sam, untuk Caroline, untuk kehidupan kita. I was heartbroken because of self-disappointment and our lack of self-respect. Tapi saya juga merasa lega mengetahui bahwa ada orang lain yang juga merasakan hal yang sama, dan saya tidak sendirian.
I didn't go there looking for you. I went looking for me. But now, here you are, and somehow, in finding you, I think I've found myself.
Demikian beberapa hal positif yang saya petik dari buku ini. Perlu diingat bahwa love doesn't cure mental illness... but it sure does help in some way. Jadi jika ada sisi yang dianggap meromantisasi gangguan kejiwaan, perlu diingat bahwa ini adalah buku fiksi remaja.
Buku ini saya rekomendasikan untuk pembaca yang suka dengan topik kesehatan mental namun dari sisi yang lebih relatable dan kontemporer.