365 Hari Pertama Hidup Berkesadaran

Sabtu, Agustus 07, 2021

Salah satu dari banyak sekali pelajaran yang bisa saya petik dari pandemi saat ini adalah mengenai gaya hidup berkesadaran. Saat himbauan #dirumahaja dimulai, usia pernikahan saya masih hitungan bulan. Jadi saat itu masih banyak barang-barang saya yang berada di dalam kardus dan kontainer belum sempat ditata di rumah. Tumpukan barang tersebut menjerumuskan saya ke googling spiral untuk menemukan tips dan trik merapikan barang, hingga akhirnya menemukan istilah minimalism yang ternyata beririsan tipis dengan hidup berkesadaran atau mindfulness yang tadinya saya implementasikan untuk menjaga kesehatan mental saja.

Lantas setelah satu tahun belajar menerapkan mindfulness di seluruh aspek kehidupan, apa saja yang berubah sejauh ini?

First and foremost, kebiasaan belanja.

Ya, saya kan nggak mungkin juga nggak belanja dong... Tapi motivasi dan tujuan belanjanya sekarang sudah mulai berubah. Kalau dulu saya bisa berbelanja for the sake of shopping spree and compensating myself for being in a depressive mood, sekarang kegiatan belanja memang bertujuan untuk membeli barang-barang esensial dan tidak dapat tergantikan fungsinya.

Contoh: belanja bahan makanan pokok yang mencukupi, bukan sekadar makanan ringan. Beli pakaian yang memang diperlukan untuk menggantikan pakaian lama yang sudah rusak, bukan sekadar untuk menambah koleksi. Dan yang paling penting, membeli barang yang memang dibutuhkan, bukan karena ingin ikut-ikutan tren.

Apakah saya masih jajan atau beli barang untuk kesenangan sendiri? Tentu saja. Tapi kali ini lebih mindful dan tidak asal beli.

Kedua: Penyimpanan barang

Pada aspek ini saya merasakan pengaruh minimalisme yang cukup kuat. Melalui minimalisme saya belajar bahwa 'everything needs its own place'. Usahakan jangan ada barang yang berceceran dan tidak memiliki rumah. Namun, jangan jadikan ini alasan untuk terus menambah ruang penyimpanan.

Storage is the root of the devil. Haha. Color me guilty. Saya sangat suka dengan furnitur yang multifungsi. Dipan? Custom made dengan empat laci penyimpanan di sisi-sisinya. Sofa? Tidak custom, tapi dari awal sudah kekeuh untuk membeli chaise lounge yang bisa diubah menjadi bed dan memiliki storage di bawahnya. Sangat berguna, tapi berbahaya karena ada rasa resah dan proses tawar-menawar yang muncul ketika ruang-ruang penyimpanan tersebut kosong atau lapang. Akhirnya bisa berakibat menambah barang-barang lain untuk mengisi ruang tersebut. Ujung-ujungnya ketika declutter, baru tersadar bahwa barang tersebut ternyata tidak dibutuhkan. Do you see where the circle begin?

Ketiga: Gratitude

Saat saya masih belum memiliki penghasilan sendiri, saya selalu heran melihat orang bisa membuang atau menelantarkan barang. Bahan makanan sudah lama dan tidak mau digunakan lagi? Buang. Makanan yang tidak sesuai selera? Buang. Tidak suka dengan barang yang dibeli online? Tidak usah digunakan, beli yang lain lagi saja.

Ternyata ketika saya sudah bekerja, saya mulai ketularan perilaku tersebut.

Skincare wajah tidak cocok? Biarkan saja tidak usah dipakai lagi. Padahal sebenarnya bisa digunakan untuk skincare tubuh.

Lip color seri terbaru? Beli. Ada tujuh hari dalam seminggu dan saya bisa berganti warna setiap harinya. Padahal dengan satu atau dua lipstick saja hidup saya sudah tenang kok.

Sekarang saat declutter, saya bisa bersyukur karena telah diberikan kesempatan dan kemampuan untuk membeli, menggunakan, dan mendapatkan pelajaran atau kenangan dari suatu barang. Meskipun barangnya tidak pernah kita gunakan, tetap ucapkan terima kasih karena telah memberikan pelajaran supaya kita tidak lagi boros, lapar mata, ataupun kalap karena termakan rayuan promo atau tren.

Keempat: Peace of mind

Setelah berhasil mengeliminasi beragam clutter di kehidupan saya, sekarang saya terbebas dari channel informasi dan akun media sosial yang tidak saya perlukan ataupun tidak memberikan ketenangan pikiran... meminjam istilah Marie Kondo, tidak sparks joy.

Apakah barang-barang di rumah saya semuanya sparks joy?

Sebagian besar, iya. Tapi perlu diingat bahwa saya tinggal dengan suami saya, dan saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk menerapkan gaya hidup yang sama dengan saya. Saya hanya bisa perlahan-lahan memberikan contoh dan sisi positif dari hidup berkesadaran hingga akhirnya nanti suami saya pun tergerak untuk menjalani komitmen yang sama.

Last but not least: Thoroughness

An kecil pasti bangga jika melihat saya saat ini sudah bisa mengontrol nafsu berbelanja. Sekarang saya punya daftar belanja yang terbagi dua: rutin dan splurge. Daftar belanja ini membantu saya untuk fokus akan hal yang memang esensial sehingga tidak asal menghamburkan uang.

Apalagi jika barang tersebut harganya mahal dan bukanlah barang yang berusia pendek. Saya pasti akan memberikan waktu lebih untuk membandingkan antar produk, membaca reviu, dan mempertimbangkan apakah saya benar-benar memerlukan barang tersebut? Apakah fungsinya tidak bisa digantikan dengan barang lain yang sudah saya miliki? Apakah barangnya akan awet? Apakah saya bisa menyimpan dan merawatnya? Kalau seluruh checklist tersebut terpenuhi, barulah saya.... add to cart. Belum beli. Tunggu promo dulu biar cuan, kak~

Bulan Juni kemarin saya akhirnya membeli sebuah vacuum cleaner. Risetnya sendiri sudah dimulai sejak tahun lalu, karena dulu saya berkeinginan untuk menghadiahi diri sendiri di ulang tahun saya. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata saya masih belum yakin dengan brand tersebut dan merasa belum terlalu butuh vacuum cleaner. Akhirnya saya tunda pembelian meskipun promo sudah bertaburan.

Barulah ketika pertengahan tahun ini merasa makin butuh dengan vacuum cleaner, akhirnya saya putuskan untuk beli. Sejauh ini alatnya rutin saya gunakan dan sangat membantu kegiatan bebersih rumah.

*

Apakah menerapkan mindfulness otomatis menghemat pengeluaran? Bisa iya, bisa juga tidak. Karena standar hidup setiap orang tidak bisa dipukul rata. Saya memandang sisi penghematan ini sebagai gaya hidup frugal dan itu bisa jadi bahasan lain di post tersendiri.

*

Sumber: Gambar 1 | Gambar 2 | Gambar 3

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.