Mei 2021 lalu, mata sebelah kanan saya mendadak tidak bisa dibuka. Saya ketakutan. Pikiran-pikiran negatif serabutan di otak saya yang mendadak kreatif menulis ragam skenario fiktif.
Sejak beberapa bulan sebelumnya, ketika bangun pagi, mata kanan saya memang sering kali sulit dibuka. Saya harus membukanya secara perlahan karena terasa perih dan tak jarang air mata ikut mengalir secara otomatis. Ini bisa terjadi 1-2 kali dalam seminggu dan hanya saat bangun dari tidur malam. Saat itu saya berasumsi bahwa mata saya sedang lelah dan menjadi terlalu sensitif dengan cahaya. Atas dasar asumsi seenaknya inilah saya selalu menunda-nunda kunjungan ke dokter mata.
Sampai kejadian di akhir Mei 2021 tersebut. Saat itu saya berada di Palembang. Ketika bangun pagi, mata saya lagi-lagi tidak bisa dibuka. Saya coba kerjap-kerjapkan sembari dikompres dengan air hangat, masih tetap tidak terbuka. Air mata karena perih sudah bercampur dengan air mata ketakutan. Pukul 9 pagi, saya dan mama berangkat ke RS RK Charitas. Padahal ini bukan rumah sakit terdekat dari rumah, tapi karena mama pernah beberapa kali berobat mata di sini dan selalu mendapatkan pelayanan yang baik, jadi saya memutuskan untuk ke sini saja.
Sepanjang perjalanan, mata kanan saya masih belum bisa dibuka meskipun perihnya berangsur berkurang.
Puji Tuhan, ternyata dokter spesialis mata saat itu sedang praktik dan tidak terlalu ramai, jadi saya langsung didaftarkan. Lucunya, ketika saya registrasi ulang di poli mata untuk screening, suster perawat (iya, suster biarawati yang bekerja sebagai perawat) agak curiga karena hidung saya meler, sampai-sampai suhu saya diukur beberapa kali dan saya harus jelaskan bahwa saya meler gara-gara nangis.
Saya hanya menunggu dipanggil kurang-lebih 15 menit sebelum akhirnya bertemu dengan dokter. Kalimat pertama yang terlintas di benak saya adalah, "Wah! Dokternya kece!" Karena saat itu saya terkesan dengan riasan mata bold dari balik goggles bu dokter. Namanya dr. Hasmeinah B. R., Sp.M.. Saya tuliskan di sini karena saya suka sekali dengan pelayanan beliau.
Dari proses screening di meja dokter hingga observasi menggunakan oftalmoskop, saya diperlakukan dengan sabar, teliti, dan tidak terburu-buru. Karena saya masih belum bisa membuka mata sebelah kanan, jadi dokter menggunakan jarinya untuk membuka kelopak mata saya. Perihnya luar biasa! Saya sampai refleks mundur menjauh. Dokternya jadi harus meminta tolong perawatnya untuk... cadangin badan dan pegang kepala saya dari belakang, supaya saya tidak bergerak.
Cukup lama mata saya diobservasi. Setelah mata kanan, dokter juga mengecek mata sebelah kiri. Hingga akhirnya didapatkan diagnosa bahwa ada goresan di mata sebelah kanan saya. Goresannya tadinya kecil, makanya saya merasakan perihnya sejak beberapa bulan lalu. Karena tidak diobati, goresannya semakin memanjang. Saya sudah keringat dingin membayangkan jika pengobatannya sulit atau malah tidak bisa diobati.
Beranjak dari oftalmoskop, saya dites membaca Snellen chart. Ya, tentu saja hurufnya nampak goyang semua yaaa... Namanya juga lagi sakit mata. Setelah itu mata kanan saya langsung dioleskan sebuah salep sembari diajarkan oleh perawatnya cara mengoleskannya.
Sepanjang konsultasi, dokternya banyak memberikan saran yang menurut saya tidak menghakimi atau menyalahkan pasien. Saya diberi wejangan agar selalu membawa kacamata saya (karena saat itu saya meninggalkan kacamata di Depok, padahal sudah hampir satu bulan di Palembang), lalu disarankan untuk memakai kacamata berlensa gelap dulu untuk mengurangi intensitas cahaya. Setelah itu dokternya menugaskan saya untuk konsultasi lagi ke dokter mata ketika saya sudah kembali ke Depok, untuk melihat perkembangan pengobatannya dan kalau sudah dinyatakan sembuh, saya harus memeriksa minus mata saya.
Beberapa hari berlalu, mata saya berangsur membaik. Saat saya kembali ke Depok pun saya menuruti wejangan dr. Hasmeinah dan melanjutkan konsultasi dengan spesialis mata lain di Depok... yang ternyata tidak sesimpatik dan seatentif dr. Hasmeinah 😬 Kelanjutan kisahnya akan saya buat di blogpost terpisah ya!
*
Saat berobat di RS RK Charitas, saya memperhatikan sistem dan lingkungannya dari sudut pandang pasien. Pelayanannya jelas sangat baik. Sedari saya masih balita pun selalu berobat ke rumah sakit ini. Puluhan tahun berlalu, hingga akhirnya teman-teman seangkatan saya bekerja di sini, mutu pelayanannya pun masih tetap baik. Saat saya pertama mendaftar di lantai dasar, prosesnya memang tidak terlalu cepat karena saya terhitung pasien baru. Apalagi saat itu saya menggunakan asuransi perusahaan tempat suami bekerja, yang nampaknya belum pernah digunakan di rumah sakit ini. Jadi petugasnya harus crosscheck dahulu.
Tapi keseluruhan proses registrasi, crosscheck asuransi, cetak kartu, dan daftar ke poli di RS RK Charitas jauh lebih cepat ketimbang beberapa rumah sakit yang pernah saya datangi, and trust me, I've been to so many hospital either for work or appointments.
Lingkungannya pun bersih dan rapi. Selalu ada tempat sampah di tiap area, jadi kalau masih ada sampah yang berceceran, bisa dipastikan itu adalah efek kurangnya empati pengunjung atau tingginya angka buta huruf di Indonesia. Papan informasinya jelas, kalau kebingungan pun selalu ada security di setiap lantai yang bisa menjadi tempat bertanya.
I sincerely wish RS RK Charitas bisa semakin berkembang dan menjadi rumah sakit tipe A.
Anyway, ulasan ini tidak disponsori oleh RS RK Charitas. Ini murni pengalaman dan pandangan saya sebagai pasien (dan mantan anggota tim penilai pelayanan rumah sakit umum). Toh saya juga pernah mendapatkan pelayanan yang kurang mengenakkan di sini, meskipun bukan dari pelayanan rumah sakitnya. Kisah ini juga mungkin akan saya buat di blogpost terpisah. Mungkin.
*