Wedding Planning Part 9: Administrasi Pindah Domisili
Sabtu, Februari 20, 2021Merayakan satu tahun usia pernikahan, saya rasa ini waktu yang tepat untuk menceritakan perjuangan kami membuat... Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga di Kota Depok. Untuk menambah semarak, saya beri disclaimer di awal bahwa semua proses kami lakukan sendiri, tanpa KKN, apalagi sogok-menyogok. Bangga juga, walau perjalanannya bikin emosi, at least I walk the talk.
Karena saat kami sah sebagai suami-istri kasus Covid-19 mulai merebak di Indonesia, proses administrasi berjalan sangat tersendat. Namun saya terus mendesak suami untuk anterin saya mondar-mandir menyelesaikan proses administrasi supaya bisa ikut Pilkada Kota Depok. Sungguh warga negara panutan.
Pertama: Cabut berkas KTP domisili lama
Untuk berkas KTP Palembang saya semuanya lancar karena surat keterangan pindah sudah dibuat sejak saya akan menikah, jadi saya sudah dibekali dengan sepucuk surat keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palembang. Yang menjadi petualangan sesungguhnya adalah saat mencabut berkas dari KTP domisili sang suami, yaitu di Kelurahan SS. Mau nangis, pemirsaaaah... Kendala utamanya adalah pelayanan administrasi tiap harinya dibatasi dengan kuota, yang sejujurnya saya tidak tahu batasan kuotanya.
Jadi di suatu pagi di bulan April 2020, saya dan suami datang ke kelurahan dan menyatakan ingin mengurus berkas pindah keluar. Petugas lantas bertanya nomor antrian kami. Ya, jelas saja saya bilang bahwa saya belum punya nomor antrian dan balik bertanya di mana saya bisa mengambil nomor antrian. Kata petugasnya nomor antrian untuk hari itu sudah habis. Ternyata semua pemohon yang berada di ruang tunggu saat itu sudah memiliki nomor antrian dan tinggal menunggu untuk dipanggil. FYI, kurang-lebih ada 15 pemohon saat itu. Jadi saya cecar pertanyaan dan ternyata mereka tidak membuka nomor antrian lagi untuk hari itu. Wow. Takjub loh saya.
Usut punya usut, nomor antrian dibuka setiap pagi, yang artinya benar-benar pagi. Menurut petugas bahkan ada yang jam lima pagi sudah datang untuk mendapatkan nomor antrian. Jadi yang datang sekitar jam tujuh pagi kemungkinan sudah tidak akan dapat nomor antrian lagi. Ini peraturan macam gimana?? Lagi-lagi saya takjub.
Ya sudah, kami pulang, dan saya ngambek ke negara karena peraturan konyol yang entah dibuat oleh siapa. Dan karena ini adalah ranah pekerjaan saya, saya sempat bertanya ke petugas, kenapa tidak memanfaatkan sistem antrian online seperti di proses pembuatan paspor. Mereka hanya diam saja. Lantas kalau ternyata nomor antrian diperjualbelikan bagaimana? Mereka juga diam saja. Pada akhirnya saya hanya bisa membuat laporan saja untuk diserahkan ke kantor.
Setelah hari yang menakjubkan dan menyedihkan itu, saya dan suami kembali ke kelurahan pada Agustus 2020. Jeda hampir lima bulan dengan harapan pelayanan di new normal sudah lebih tertata.
Ternyata sama saja berantakannya.
Tapi kali ini kami sudah mengantisipasi dengan datang di pukul enam pagi. Kalau tidak salah ingat, saya dapat nomor antrian ke-11. Luar biasa membayangkan yang mendapatkan nomor antrian lima besar itu datengnya dari jam berapa, ya?
Lucunya, saat jam setengah tujuh pagi, saya lihat bahwa kolom pendaftaran pemohon untuk hari itu masih banyak baris yang kosong, namun saat ada pemohon yang baru datang, petugas mengatakan bahwa kuota sudah habis. Saya diam saja. Terlalu lelah (dan mengantuk) mau mengkritisi negeri.
Proses administrasi dengan FO sendiri berjalan singkat karena saya sudah menyiapkan seluruh berkas yang diperlukan. Sayangnya jaringan di kantor kelurahan hari itu sedang down, sehingga kami tidak bisa menunggu berkas selesai dan harus kembali seusai makan siang. Oke, ga apa, yang penting kelar.
Pukul dua siang, saya dan suami kembali ke kantor kelurahan, mengambil berkas yang ternyata perlu diverifikasi oleh Kecamatan Jagakarsa. Bagian ini belum saya antisipasi. Saya tidak menyangka ternyata ada berkas lain. Namun menurut petugas FO verifikasi ini hanya sebentar dan bisa diselesaikan hari ini juga. Oke, sip, selesai dari Kelurahan SS meluncur ke Kecamatan Jagakarsa.
Ternyata benar, di Kecamatan Jagakarsa hanya menghabiskan waktu kurang-lebih 15 menit saja. Tapi lagi-lagi saya harus dihadapkan dengan petugas yang mungkin masih perlu diasah untuk menjadi seorang FO. Ya sudahlah, setidaknya pengantar untuk pindah-keluar milik suami sudah selesai. Sekarang tinggal mengurus pindah-datang ke Kota Depok.
Sedikit menekankan, pengalaman kurang sedap yang saya dapatkan selama mengurus proses administrasi di Kelurahan SS kebanyakan berasal dari petugas yang bukan FO, malah dari petugas kuning (atau jingga?) yang menjaga formulir pendaftaran. Semoga saja bisa dievaluasi oleh Lurah dan Camat terkait.
Karena ternyata tulisannya sudah mengular dan langkah selanjutnya pun masih panjang, jadi saya lanjutkan di post selanjutnya, ya..
0 komentar
Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.