Petualangan Kesehatan Mental: Menemukan Psikolog

Sabtu, Maret 13, 2021


Saya tergolong sebagai individu yang beruntung karena dapat menemukan psikolog yang cocok dengan saya, langsung di pertemuan pertama. Semesta seperti mengarahkan saya ke psikolog tersebut.

Berawal dari ketika saya googling mengenai psikolog di daerah Jakarta Selatan. Sebuah laman dari situs yang cukup besar muncul pada halaman pertama Google Search saya. Saya klik dan menemukan artikel wawancara dengan seorang psikolog yang bertugas di sebuah puskesmas. Puskesmas? Iya, puskesmas. Beranjak dari artikel tersebut, saya lanjut browsing mengenai berbagai fasilitas kesehatan yang memiliki psikolog. Saya baru tahu bahwa psikolog tidak hanya identik dengan rumah sakit atau klinik kejiwaan saja. Selama ini saya berasumsi bahwa puskesmas memiliki keterbatasan layanan kesehatan, sehingga tidak pernah menjadikannya sebagai opsi pertama untuk keluhan-keluhan sepele saya. Lumayan, pikiran saya jadi terbuka sekarang.

Anyway, saya akhirnya mendatangi puskesmas dalam artikel tersebut. Sayangnya, ternyata klien tidak bisa langsung datang, daftar, dan mendapatkan layanan konsultasi, namun harus terlebih dahulu membuat janji pertemuan dengan sang psikolog via nomor Whatsapp. Ya sudah, karena sudah terlanjur berada di puskesmas, saya chat sang psikolog menanyakan jadwalnya hari itu. Saya tidak berharap banyak, dan benar saja, untuk hari itu memang sudah penuh. Sang psikolog kemudian memberikan list jadwalnya dan kami pun sepakat akan satu tanggal.

By the way, karena sudah merasa sangat jenuh, siang itu juga sepulang saya dari puskesmas, saya membuat janji temu dengan seorang psikolog di sebuah rumah sakit swasta di daerah Salemba. Rekam medis saya memang sudah lengkap di sana, makanya saya memutuskan untuk menjadikan rumah sakit tersebut sebagai opsi kedua. Sayangnya (atau malah beruntungnya?), saat sore hari saya hendak berangkat ke rumah sakit tersebut, hujan turun dengan derasnya. Saya mager dong... Ya sudahlah, tidak jadi lagi berangkat, menanti pertemuan dengan sang psikolog puskesmas saja.

And oh how surprised I am.

Sesi saya tiba. Saya datang 30 menit sebelum jadwal temu saya. Iya, sebegitu deg-degannya saya. Tidak ingin terlambat, tidak ingin menambah kesan buruk, tidak ingin ada sesuatu yang terjadi saat proses pendaftaran hingga mengambil waktu konsultasi saya. Overthinking.

Saya dipanggil masuk ke ruangan kecil ukuran kurang-lebih 2.5 x 2.5 meter. Hanya ada satu set meja dan kursi kerja, dua buah kursi santai yang dipisahkan oleh sebuah meja kopi kecil dengan sekotak tisu kering dan beberapa gelas air mineral (yang saya secara skeptis dan angkuh langsung bersikukuh tidak akan menggunakannya), bersisian dengan sebuah jendela sehingga penghuni ruangan ini bisa melihat dengan jelas kondisi cuaca di luar sana. Tidak ada hal-hal khusus yang bisa mengidentifikasikan ruangan tersebut sebagai ruang kerja seorang psikolog, tempat jutaan rahasia, pengakuan dosa, sumpah serapah, dan air mata tertumpah.

Psikolog saya ramah. Hanya itu kalimat yang bisa saya berikan. Ia tahu kapan harus berbicara, kapan harus bergerak dan bekerja dalam diam, terutama ketika ia memberikan sebuah formulir yang harus saya isi untuk melihat kondisi saya secara umum dan ia tahu bahwa saya sudah paham akan maksud formulir tersebut. Ia tidak bersifat menggurui, tapi sangat informatif. Tidak mencibir atau mengolok pertanyaan remeh saya, tetapi mencerahkan dan mengajak saya untuk terus menggali berbagai pertanyaan agar tidak ada yang mengganjal. Jika ada pertanyaan saya yang tidak terjawab olehnya, ia akan menambah referensinya, bertanya ke rekan atau seniornya, dan meminta tolong saya untuk mengingatkan akan pertanyaan tersebut di pertemuan selanjutnya. I feel like I've found a friend, but I know that this is just a mere feeling. Karena semuanya sebatas profesionalitas. Tapi itu sudah cukup.

Sesi saya selesai. Sesuai ajaran dari orang tua saya dahulu, kalau saya membuat sampah, harus dibersihkan. Jadi saya bereskan wadah bekas air mineral dan berkepal-kepal tisu di atas meja kopi. Setelah itu kami membuat jadwal temu untuk sesi selanjutnya.

Tidak terhitung berapa kali total sesi saya dengan sang psikolog. Yang pasti, ia sudah melihat beragam sisi saya. Mulai dari sesi bertukar tawa seperti pertemuan dengan teman lama di sebuah kafe, hingga sesi penuh air mata hingga ia harus memberikan saya sebuah coklat dan sebuah pelukan saat saya akan pulang. It is a hell of a rollercoaster ride.

Apa yang saya rasakan seusai konsultasi? Lega. Sangat lega. Do take this with a grain of salt. Permasalahan kita tidak akan diselesaikan oleh sang psikolog. Kita pun tidak magically menjadi sangat cerdas dan bijak sehingga langsung bisa menyelesaikan permasalahan yang carut-marut itu. Tapi dunia nampak lebih baik dari sebelumnya. Terutama hidup. Hidup saya rasanya lebih baik karena ada orang, yang secara profesional, mendengarkan keluh-kesah kita tanpa memaksakan nasehat sok tahunya, malahan menawarkan berbagai cara legal untuk menenangkan pikiran dan menghadapi konflik-konflik yang akan menyerang.

Andai psikolog bagaikan benda yang bisa dibeli, saya mau beli banyak untuk stok di rumah, terutama karena saat ini saya sudah tidak berhubungan lagi dengan psikolog ini karena domisili saya sekarang sangat jauh dari puskesmas tempat ia bekerja.

Untuk teman-teman pembaca yang saat ini masih meragu, tolong saya, tidak perlu sungkan untuk menghubungi psikolog terdekat. Saya tidak bisa menjanjikan kalian dapat langsung cocok dengan psikolog pertama yang kalian temui, tapi saya percaya, kalian bisa merasa lega, plong, dan ringan lagi. Beban kalian itu, jangan dibawa sendiri ya... Temuilah psikolog.

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.