Petualangan Kesehatan Mental: Mencari Psikiater

Selasa, Maret 30, 2021

It's World Bipolar Day! Way to go, warriors!

Seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya, mencari psikolog/psikiater itu seperti mencari jodoh. Ada yang berkali-kali berganti dokter, namun ada pula yang langsung cocok. Di penghujung tahun 2019, saya mulai mencari-cari psikiater dengan modal browsing. Berhubung saya dulu kesulitan mendapatkan informasi estimasi biaya konsultasi dengan psikiater, jadi saya lampirkan juga di sini total biaya yang saya keluarkan per sekali kunjungan. Tidak bisa terlalu detil karena banyak yang saya sudah lupa dan struk pembayaran pun sudah menghilang. Selain itu, untuk menjaga privasi dan etika, saya tidak akan menyebutkan nama para dokter yaa..

1. RSUD Tarakan

Mendekati penghujung tahun 2019, saya mengunjungi psikiater pertama saya di RSUD Tarakan. Pertimbangan saya dalam memilih rumah sakit ini adalah: 1) Jadwalnya jelas dan update, 2) Posisinya dekat dengan kantor bangsu, jadi saya bisa nebeng kendaraan, serta 3) Karena ini kunjungan perdana saya ke psikiater, maka saya perlu cek ombak dulu perkara tarif konsultasinya dengan memilih RSUD.

Kunjungan perdana saya berjalan... membingungkan. Rumah sakitnya besar dan terdiri dari banyak lantai, dan saat itu ternyata sedang ramai-ramainya, sementara lift yang bisa dipakai hanya sedikit, sehingga saya harus beberapa kali mengalah karena antrian lift saya diserobot oleh orang lain. Perlu waktu hampir 20 menit bagi saya untuk menuju ke lantai poli kejiwaan.

Sampai di poli kejiwaan, saya menuju ke meja pendaftaran yang berisi mbak administrasi dan satpam yang sedang ngobrol santai dengan si mbak. Saya dicuekin. Setelah mengisi data diri dan keperluan administrasi lainnya, saya membayar biaya konsul, lalu menunggu untuk dipanggil. Saat itu tidak ada pasien lain, tapi menurut info sang psikiater sedang ada urusan manajerial. Setelah 15 menit menunggu dengan cemas, nama saya akhirnya dipanggil oleh perawat.... yang kemudian malah menginterogasi saya, sampai-sampai saya berpikir apakah Ibu ini psikiaternya? Apakah ini baju perawat atau baju terkini dokter? Sang perawat terus bertanya mengenai detil permasalahan saya, keluhan saya, bahkan sampai membawa-bawa agama dan kepercayaan. Dan, yes, you got it right, sampai berkata bahwa saya harus lebih banyak berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Err.. red light.

Gongnya adalah... tiba-tiba seorang dokter datang ke ruang perawat dan kaget melihat ada saya di sana. Ia kemudian meminta saya ke ruangannya... yang adalah ruang konsultasi sesungguhnya. Wow. Jadi dari tadi saya diminta meluapkan isi hati (dan kepala) pada seseorang yang bukanlah dokter dan malah menghakimi saya.

Ya sudahlah... Di ruang dokter, saya kemudian mengulang apa yang sudah saya ungkapkan sebelumnya ke perawat. Konsultasi dimulai dan dokternya ternyata sangat terbuka, pembawaannya bikin adem, tidak pernah menyela, menghakimi, atau mengecilkan saya. Saya mulai merasa senang karena mengira akan cocok dengan dokter ini. Menjelang akhir sesi, ia menanyakan kesediaan saya untuk memulai terapi di rumah sakit tersebut. Entah kenapa saya saat itu ingin saja bertanya, apakah ia yang akan menjadi terapis saya. Dan ternyata... bukan. Ia menjelaskan bahwa ia hanyalah residen dan minggu tersebut merupakan minggu terakhirnya di RSUD Tarakan, yang berarti saya tidak bisa berkonsultasi dengan dia lagi.

My heart breaks.

Beneran deh, kalo saat ngobrol sudah terasa cocok tapi ternyata tidak bisa terus berkonsultasi dengan sang dokter, itu rasanya kayak patah hati putus cinta loh. Semacam pengen drama pegang kerah jas dokternya dan ngomel, "Kalo gitu kenapa kamu ngasih harapan, dok???"

Akhirnya saya hanya ambil obat saja, urus segala macam pembayaran, dan sembari menunggu ojek online datang, saya kembali browsing rumah sakit dengan poli kejiwaan.

Total biaya konsultasi: 100-150 ribu, menerima BPJS dan asuransi lainnya.

2. RS Grha Permata Ibu

Di awal tahun 2020, saya ke RSGPI di Depok. Dokternya lagi-lagi perempuan. Entah kenapa saya lebih memilih psikiater/psikolog perempuan karena saya berasumsi mereka lebih bisa berempati kepada saya.

Pertemuan pertama, dokter menggali cukup dalam, dan karena saya juga sudah terbiasa untuk menjawab mengenai apa yang saya rasakan, jadi pertemuan tersebut tidak terlalu lama. Mungkin sekitar 20-25 menit saja. Oh dan dokternya juga bertanya kepada suami saya. Suami saya diberikan kesempatan untuk mengklarifikasi atau menambahkan apa yang ia sendiri amati dan rasakan.

Secara umum, saya cukup cocok dengan psikiater di sini, apalagi lokasinya tidak jauh dari rumah kami. Kekurangannya hanyalah proses administrasinya cukup lambat. Untuk membayar biaya obat dan mengambil obat saja perlu waktu lama. Belum lagi ketika sudah lama menunggu ternyata obat yang diperlukan tidak ada sehingga saya harus cari sendiri di apotik luar. Tapi untuk kehandalan dokter, saya merasa cocok. Obat-obatan yang diberikan pun cocok dengan saya. Untuk teman-teman yang rumahnya di sekitar Depok dan tidak mau jauh-jauh ke Jakarta, bisa coba ke psikiater di RSGPI saja.

Total biaya konsultasi: 200-300 ribu, menerima BPJS dan asuransi lainnya.

3. Sanatorium Dharmawangsa

Surprise, surprise.. Ternyata masih harus mencari psikiater baru. Bukan karena psikiater di RSGPI tidak cocok dengan saya, tapi karena apoteknya kurang lengkap. Saya harus ke apotek lain yang lokasinya jauh sekali dari rumah.

Saya terinfokan rumah sakit ini dari pemilik salon yang saya datangi. Sang pemilik juga adalah penyintas gangguan kejiwaan dan cukup vokal menyuarakan kesehatan mental di akun Instagram-nya. Suatu ketika, saya coba memberanikan diri untuk mengomentari Instagram Story-nya. Tidak disangka, responnya baik dan membuahkan diskusi singkat. Beberapa bulan kemudian, saat saya sudah bingung harus ke rumah sakit mana lagi, saya pun bertanya ke owner salon ini dan dari dialah saya mendapatkan dua rekomendasi nama. Akhirnya saya hubungi Sanatorium Dharmawangsa, book appointment ke salah satu psikiater, dan konsul. Oh dan obatnya pun selalu lengkap. Mungkin karena ini memang rumah sakit kejiwaan, jadi stok obatnya selalu ada.

Hanya satu saja kekurangan (atau kelebihan ya?) dari rumah sakit ini, selama pandemi Covid-19, konsultasi dilakukan secara virtual. Jadi pasien dan dokter tetap datang ke rumah sakit, namun saat konsultasi dilakukan di ruangan berbeda menggunakan media webcam PC. Sebagai mbak-mbak yang sensitif, saya merasa esensi curhat dengan dokternya agak kurang nih... jadinya berasa telekonferensi urusan kerjaan.

Total biaya konsultasi: 350-650 ribu (ditambah biaya administrasi dan APD dokter).

*

Sekian kisah petualangan saya dalam mencari psikiater. Harapan saya sih tidak ada bagian kedua dari post ini, karena agak lelah juga bertualang dan mengulang rekam medis sedari awal.

Semoga teman-teman yang tadinya masih bingung jadi tercerahkan yaa.. Ke psikiater itu wajar kok ketimbang baca sana-sini dan malah mendiagnosa diri sendiri. Jangan takut jadi ketergantungan, karena dokter saya pun bilang bahwa lepas obat bukanlah hal yang mustahil. Perjalanan menemukan titik dosis yang tepat sampai akhirnya bisa menjadi stabil memang tidak mudah, bahkan jauh dari mudah. Tapi diingat-ingat lagi, untuk melangkah ke psikiater saja sudah awal yang sangat baik, jadi jangan menyerah! This will sound really clichè, tapi tetap semangat ya! Kita sama-sama bisa pulih.

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.