Berdamai dengan Gangguan Kejiwaan

Minggu, Oktober 10, 2021

Sejak beberapa minggu lalu saya sudah menemukan tanda-tanda bahwa fase depresi akan segera tiba. Instead of trying to pick up myself or let it drown me, kali ini saya memutuskan untuk melompat dan berenang-renang dulu di kolam kesenduan itu. Toh fase depresi atau masa-masa saya merasa sangat sendu merupakan perasaan juga. Seperti takdirnya perasaan, ya harus dirasakan dan dipilah mana yang valid, mana yang invalid.

Hence, when depression knocks, I opened the door. They invited themselves in to partied together... and here are the reasons why I let them:

1. They gave me the answers I needed for years.

Ilmu psikologi sangatlah unik dan pelik. Kedua pihak yang terlibat, yaitu klien atau pasien dengan psikolog atau psikiater, sama-sama memiliki pengetahuan yang minim akan kasus yang mereka hadapi, karena ini menyangkut kejiwaan dan mood yang berbeda di tiap kasusnya. Kedua pihak ini, secara tidak tertulis, sepakat untuk bekerja sama menggali kasus-kasus psikologis di diri secara perlahan. Bila berhasil, proses ini akan menghasilkan sebuah diagnosa. Sebuah label. Pada kasus saya, labelnya adalah gangguan bipolar dan gangguan kecemasan.

Berusaha menolak? Tentu saja. I don't wanna be labeled as a crazy lady. Saya langsung menjadi denial dan defensif. Namun ada secercah rasa lega, yang setelah saya usut ternyata bernama clarity. Pada akhirnya, saya menemukan jawaban atas hal-hal yang saya pertanyakan ke diri sendiri:

"Mengapa saya merasa aneh? Mengapa saya bisa sangat cepat mengenali dan menyerap energi orang-orang di sekitar saya? Mengapa saya sering merasa lelah atau mengantuk padahal waktu istirahat saya sudah cukup?"

Pada akhirnya, saya mulai mencari informasi lebih mengenai label tersebut. Saya menonton banyak video di Youtube, artikel-artikel, dan buku-buku psikologi untuk lebih mengenali diri saya sendiri dan tidak tunduk pada stigma gangguan kejiwaan.

2. They made me be honest with myself and those who genuinely care for me.

Diagnosa gangguan kejiwaan tidak didapatkan melalui proses seperti datang ke laboratorium untuk tes darah lalu berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan obat atau suplemen yang diperlukan untuk memperbaiki fungsi tubuh. Diagnosa gangguan kejiwaan didapatkan dari keberanian dan kejujuran diri kepada psikiater. Tidak ada angka atau skala yang merujuk ke normal atau abnormal. Hanya kata-kata. 

Melalui muntahan kata-kata kepada psikolog dan rangkaian kalimat untuk menyampaikan efek obat yang saya rasakan kepada psikiater, saya belajar untuk terbuka atas keadaan diri saya. Perlahan, saya juga belajar untuk menerima proses yang harus saya lalui saat ini. Termasuk masa-masa saya akan terlihat aneh, jelek, atau malas. Pada masa-masa inilah saya juga dilatih untuk dapat membesarkan hati sendiri dan fokus pada orang-orang yang memang tulus dan peduli atas keadaan saya dan membatasi interaksi dengan orang-orang yang memang tidak bisa berempati.

3. They showed me how I am more tenacious than I ever knew

Setelah bertahun-tahun memendam dan melewati fase-fase kelam sendirian, sekian lama terus menangis dan berharap dapat lenyap atau menghilang, but I'm still here. Saya yakin, saya hanyalah satu dari sekian banyak orang yang pernah bertanya-tanya cara bunuh diri yang tidak sakit. But I'm still here. Melewati proses mencari tenaga ahli dan obat-obatan yang cocok, membenci diri sendiri, menghadapi perundungan, sindiran, ungkapan kekecewaan, bahkan tidak dianggap keberadaannya sudah menjadi makanan sehari-hari. Yet I'm still here. Alive and kicking.

I am one strong human.

4. They have ignited my curiosity

Saya tidak memiliki latar belakang psikologi ataupun kedokteran. Sejak remaja saya memang tertarik dengan ilmu psikologi, sayang sekali saya tidak menuruti naluri untuk menekuni ilmu ini di masa kuliah dulu.

Semenjak berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater, saya menjadi semakin tertarik mempelajari peliknya pikiran, kepribadian, dan perasaan manusia. Setiap saya merasa ada emosi yang berlebihan berkecamuk, saya akan mengambil waktu untuk merenungi, apa nama perasaan ini? Label apa yang harus saya berikan agar saya dapat memberikan reaksi sesuai dengan label yang seharusnya?

Terkadang, kita terlalu fokus dengan emosi-emosi yang besar dan dekat dengan lingkungan, sehingga kita lupa bahwa ada label-label emosi lainnya yang mungkin lebih sesuai untuk digunakan. Tidak selamanya sebuah tangisan menandakan kesedihan. Ada tangis bahagia, tangis kecewa, tangis haru, tangis marah, atau tangis penyesalan.

5. They opened my eyes to how general people see mental illness

Those stigmas! Blergh.. the stigmas!

"Kamu kurang berdoa!"

"Kamu perlu Tuhan!"

"Kamu jangan males-malesan aja makanya..."

"Kamu cuma perlu berpikir positif!"

Saya masih merasa marah dan kecewa setiap kali saya mendengar stigma seperti ini. Marah karena orang-orang tersebut bisa segampang itu menggampangkan kondisi kejiwaan seseorang. Kecewa karena di saat segala informasi bisa didapatkan dengan one Google search away, mereka masih tidak mau mengedukasi dirinya.

In my wishful thinking, mungkin saja kalimat-kalimat tersebut keluar karena mereka sedang menjadi defensif. They cannot accept what's alien to them. They see the worlds only through their own perfect bubbles. Hence, mereka merasa semua yang tidak se-happy-go-lucky mereka adalah orang aneh. Inilah alasan advokasi kesehatan mental harus tetap digencarkan.

*

After a few endless nights of partying until I felt like I ran out of tears. I ended the party. I turned off the melancholic music. I switched on the light and asked them politely to leave the house because I need to start cleaning.

And they left.

And I felt good to be back at home again.

*

For those on the same mental health adventure as I am: the road is long, the journey is tough, but it will be worth it and I'm not gonna give up. I hope you do too.

*

Sumber Gambar

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.