Dari Rayap Saya Belajar...

Minggu, Februari 13, 2022

Grup Whatsapp ibu-ibu komplek saya sempat ramai membahas rayap. Awal mulanya karena ada satu tetangga yang cerita bahwa kitchen set bagian atasnya roboh karena digerogoti rayap. Puji Tuhan tidak ada yang terluka meskipun saat kejadian anaknya sedang menggoreng pisang di bawah cabinet tersebut.

Ibu-ibu yang lain pun ikut mengeluhkan hal yang sama. Ada yang ternyata kitchen set-nya pernah roboh juga, ada yang mengirimkan foto dan video menunjukkan rayap yang sudah membuat jalur teritorial di dalam lemari pakaian, dan ada yang sudah mengganti beberapa kusen dan pintu rumah menjadi aluminium karena yang lama sudah habis dicemil rayap.

Ketika grup Whatsapp ramai membahas hama rayap, perasaan saya bercampuraduk. Ada rasa gelisah karena koloni rayap juga menyerang rumah kami, meskipun tidak (please please please jangan) sampai menyebabkan kerusakan besar di beberapa furniture kesayangan.

Ada juga rasa lega, karena ternyata ini adalah permasalahan kolektif. Rupanya bukan hanya saya sendiri yang dihantui koloni rayap ini. Lumayan, saya bisa bingung berjamaah. Namun seketika juga muncul rasa cemas, karena permasalahan kolektif tentunya memerlukan solusi, kesepakatan, dan tindakan kolektif juga. Tidak bisa ada satu-dua orang saja yang menyelesaikannya. Masalahnya, siapa yang akan berinisiatif menjabarkan ragam alternatif solusi memberantas rayap ini? Bagaimana kalau ternyata hanya saya dan segelintir rumah saja yang merasa problematika rayap ini termasuk prioritas golongan utama?

Anyway,

Mari kita kesampingkan dahulu politik komplek.

Saya ingin bercerita, bahwa memang benar kita bisa belajar banyak hal dari banyak hal. Contohnya saja dibalik perseteruan saya (dan suami) dengan rayap yang sangat sengit ini, ternyata ada petikan pesan moral yang dapat diambil. Dari rayap saya belajar...

Bahwa kenangan itu tersimpan di hati dan pikiran, bukan di dalam barang.

Dulu saya sangat sentimental. Saya sangat suka menyimpan berbagai memorabilia. Membuang atau mendonasikan barang terasa berat karena kenangan yang tersimpan di dalamnya.

Di bulan-bulan awal pernikahan, ketika saya dan suami sedang beres-beres kardus, ternyata gerombolan rayap sudah menyerang satu buah kardus milik saya. Seingat saya isinya adalah beberapa buku catatan diklat dan pakaian olah raga yang sudah lama tidak tersentuh. Dulu saya kekeuh tidak mau melepaskan kardus ini dengan alasan, "Nanti butuh...". Tapi ketika melihat kawanan rayap sudah memenuhi seluruh sisi kardus, tanpa pikir panjang saya minta suami untuk buang saja kardusnya, saking jijiknya.

Sampai sekarang saya ternyata tidak memerlukan isi dari kardus tersebut.

Bahwa selayaknya segala sesuatu yang disimpan harus dirawat.

Kami pernah menyimpan kardus bekas berukuran cukup besar, lagi-lagi dengan asumsi, "Nanti bakal perlu untuk kirim-kirim paket." Jadi kami lipat dan letakkan kardus tersebut di sudut kamar, bersender ke dinding. Not so smart of us. Karena dalam hitungan bulan, kardus tersebut hancur digerogoti oleh rayap. Bahkan saat itu jalur perjalanan para koloni sampai tercetak di keramik lantai. Suami saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk memberangus dan membersihkan tempat kejadian perkara.

Seremeh-remehnya setumpuk kardus bekas, ketika kami memutuskan untuk menyediakan tempat penyimpanannya, maka kami juga harus bertanggungjawab untuk menjaga dan merawatnya sampai habis nilai gunanya. Hitung-hitung latihan bertanggungjawab untuk perkara yang lebih besar toh?

Sekarang kami masih menyimpan beberapa kardus besar kok. Tapi kali ini kami simpan di dalam plastik bekas dan benar-benar akan digunakan untuk mengirimkan barang. Selebihnya saya kumpulkan untuk dikirimkan ke tempat daur ulang secepatnya.

Bahwa kami diminta bersabar.

Beberapa kusen dan pintu rumah saya memang semakin keropos karena digerogoti oleh rayap. Sampai sekarang pun saya nampaknya belum bisa mewujudkan keinginan untuk memiliki kitchen set dengan ragam motif HPL yang sangat estetik tersebut, semata karena takut malah akan jadi festival bagi rayap. 

Perjalanan untuk melakukan renovasi besar-besaran memang masih belum nampak hilalnya, namun saya yakin ini adalah pelajaran untuk kami lebih bersyukur dalam menjalani hidup, bersabar dalam menabung, dalam menghadapi konflik, dalam menjaga dan merawat yang ada, serta dalam berproses.

Now who knows we could learn mindfulness from termites?

*

Sumber: Gambar

You Might Also Like

0 komentar

Thank you for spending your time here. Constructive criticism, question, occasional compliment, or a casual hello are highly appreciated.