Bagi yang belum paham, kata-kata atau ucapan memiliki andil besar dalam meredakan atau malah memicu fase depresi tersebut. Berikut adalah 13 kalimat yang dibenci oleh penyintas gangguan kejiwaan versi saya. Kenapa 13? Karena saya suka angka 13.
1. Kamu kenapa?
Saya rasa tanpa dijelaskan pun kamu tahu karena terlihat secara jelas dari mata saya yang sembab karena terus menerus menangis yang menyebabkan wajah saya bengap, suara yang parau, dan rambut yang semakin aut-autan. Tidak perlulah bertanya lagi apa yang terjadi dengan saya. Diam saja dan peluk saya sampai episode saya berangsur menghilang.
2. Tapi kan kamu pintar/kaya/sukses...
Memiliki kelebihan di suatu bidang bukan berarti kami menjadi kebal dari gangguan kejiwaan. Sama halnya dengan penyakit fisik, gangguan kejiwaan juga menyiksa dan tidak tebang pilih. Tidak ada diskriminasi bagi rasa sakit.
3. Kamu kelihatan bahagia kok, kamu cuma cari perhatian aja...
Pernyataan yang menurut saya bertolakbelakang. Saya yakin, bukan hanya penyintas gangguan kejiwaan, tapi seluruh individu pasti pernah harus memakai "topeng" di lingkungan atau kondisi tertentu agar bisa terlihat normal dan membaur dengan lingkungan. Untuk apa saya perlu membaur atau terlihat normal? Karena saya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Jadi jika saya mendadak melakukan suatu hal di luar kewajaran, itu pertanda saya sedang benar-benar tertekan.
4. Obatmu habis ya?
Ketika saya melakukan hal di luar kebiasaan, bisa saja dikarenakan saya memang mencari medium lain untuk berekspresi atau meluapkan emosi. Mungkin saja obat saya memang benar-benar sedang habis dan saya belum bisa konsultasi untuk mendapatkan stok obat lagi. Atau mungkin saya memang sedang merasa benar-benar bahagia atau sedih, sehingga saya melakukan hal yang mengagetkan Anda. Bisa saja saya justru mengonsumsi obat dengan dosis baru. Apapun alasannya, jika Anda bukan orang terdekat saya, tolonglah tidak usah mengungkit masalah obat.
5. Kamu kurang olah raga/aktivitas fisik
Bagaimana caranya bisa berolahraga atau aktivitas fisik sedang lainnya jika untuk mandi saja sulit? Jangankan mandi deh, untuk beranjak mematikan AC saja rasanya sangat berat. Percayalah, kami sebenarnya sangat ingin beraktivitas seperti biasa, namun yang dapat kami lakukan hanyalah menggeletak di kasur, bergelung dengan selimut.
6. Itu tuh cuma di kepala kamu!
Surprise, surprise! That's why they call it mental health issue because the neurotransmission went loco! And guess where does neurotransmission happen? In our brain! Oh and the brain is located in.... what? Yes.
7. Si XXXX juga begitu, malah lebih parah dari kamu!
Iya, semua orang punya permasalahannya masing-masing. Semua memikul salib sendiri-sendiri. Kemampuan tiap orang dalam menghadapi masalah juga berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan, apalagi dijadikan ajang kompetisi.
8. Masalah jangan dipikirin sendiri, dibawa happy/positive thinking aja!
Kata seseorang (yang umumnya bersifat ekstrovert) yang tidak harus konsultasi ke psikolog, psikiater, dan beli obat yang mahal dan tidak ditanggung asuransi. Biasanya kalimat ini akan dilanjutkan dengan, "...kayak saya dong!"
9. Kamu bergaul dong, sosialisasi dengan yang lain, jangan diam saja!
Honey, I have a party here inside my head, hosted by depression with special guest from anxiety, and I'm not invited. How do you expect me to function properly when I'm down?
10. Saya kasihan sama kamu
Saya juga. Kasihan dengan diri saya. Saya nggak perlu dikasihani orang lain... Lha wong saya sendiri udah mengasihani diri sendiri kok. Udah cukup. Stok kasihan udah aman.
11. Kamu perlu lebih banyak berdoa/beribadah
Hmm... Saya sudah melalui fase berdoa meminta disembuhkan dan dipulihkan, lanjut ke fase berdoa meminta kebahagiaan, lalu jungkir-balik ke fase tidak mau berdoa karena kekecewaan saya sudah terlalu besar, kemudian terseok-seok kembali berdoa meminta diberikan kekuatan melawan sesuatu yang aneh di kepala, kemudian berdoa memohon agar orang lain tidak perlu menghadapi seperti apa yang saya rasakan, dan berdoa agar diberikan kesabaran yang panjang bagi orang-orang terdekat saya, hingga akhirnya ke fase berdoa agar dimampukan untuk ikhlas menempuh petualangan kesehatan mental yang sangat luar biasa ini.
12. Bunuh diri/melukai diri itu dosa loh!
Tell me something I don't know. Terkadang, tujuan dari melukai diri sendiri bukan sekadar untuk mengakhiri hidup, tapi untuk mengalihkan segala hal yang memenuhi otak ke rasa sakit secara fisik. Terkadang pula, melukai diri menjadi pembuktian bahwa kami "ada". Di sesi konseling, seringkali saya diajak untuk melihat dan menyadari keberadaan diri. To be mindful and grounded, istilahnya. Ketika di episode depresi yang sangat berat sampai rasanya melayang, saya perlu "membangunkan" diri dengan cara memicu rasa sakit. Iya, saya tahu itu keliru, tapi sampai saat ini, saya masih belum menemukan cara instan lainnya untuk menyadarkan diri selain rasa sakit.
13. Apa kabar?
...only if followed by a cold shoulder. The worst of them all.